Sekilas aku eja deretan angka-angka, 1:53, petunjuk waktu di pojok kiri bawah komputerku mengingatkan waktunya untuk istirahat. Sejenak kusandarkan punggungku di kursi, suara derit per-pernya yang sudah tua mengiringi hela nafas panjangku. Baru saja aku selesaikan sisa pekerjaan yang sedari siang kemarin tak juga rampung.
Hari-hariku memang lebih banyak kunikmati di kamar kerjaku ini, sebuah ruang yang di pintu masuknya tertulis dengan nada kasar, “Ruang Redaksi, Selain redaktur Dilarang Masuk.” Aku membenamkan diri dalam kerja panjang yang tidak pernah berakhir. Tuntutan tenggang waktu, selalu membuat pekerjaan terburu-buru. Dan itu selalu begitu, dari menit ke menit lewat begitu saja seperti berlalunya usia yang kian lama semakin tua.
Aku tak mampu membayangkan, kalau rutinitas yang kumiliki ini boleh jadi akan berakhir sebagai kesia-siaan, tanpa pernah mencapai tujuannya. Waktu selalu mengantarku kepada keinginan-keinginan, lamunan-lamunan, mimpi-mimpi, harapan-harapan. Dan untuk itu semua, aku membutuhkan lebih banyak waktu daripada yang jelas sudah tersedia untukku (toh hidup sekedar menunggu batas ajal). Sepuluh tahun lalu, aku masih berdiri di Tugu Ireng kulon Kali Krasak, perbatasan antara Kabupaten Magelang dan DI Yogyakarta. Sepuluh menit lalu, kucium tangan keriput mBah Putri yang telah memanjakanku bertahun-tahun di depan pintu rumah. Di satu desa, Kidul Kretek Kali Krasak, kukira hingga kini hanya ada satu madrasah di sana dan rumah itu hanya beberapa langkah di sebelah utaranya. Menunggu bus jurusan Yogya, lalu perjalanan hari itu mengantarku ke Lampung.
Tak ada kesan khusus selama di perjalanan. Kata-kata akhir dari seorang sahabatku, “Sekali kau minum air Kali Krasak, ke manapun kau pergi, hatimu akan terbawa hanyut ke Laut Kidul. Dan kau pasti akan kembali.” Membuatku tak bisa menghilangkan kesan mendalam pada Gunung Merapi, yang setiap tahun mengajarkan bagaimana cara mengungsi bila laharnya meluber ke desa. Kalau sekarang aku ada di sini, mengikuti pusaran waktu yang berjalan mundur. Itu tidak lain hanya sekedar upaya menetralisir perasaan, bukan hanyut dalam kenangan entah itu pahit atau manis. Waktu terus berjalan ke depan, kenapa mesti memaksanya mengulang perjalanannya sembari mengingat-ingat duka. Memupuk penyesalan dan kadang dendam.
Memang, manusia selalu dihantui oleh masa lalu. Endapan lumpur keinginan-keinginan yang dipaksa dilupakan, namun selalu gagal dan menciptakan gejolak perasaan yang tidak mendekatkan kepada realita tetapi justru mengantar kepada alienasi jiwa. Dunia terus berputar, sementara sebagian orang mabuk oleh masa lalunya hingga lupa diri. Sebagian yang lain menciptakan dunianya dan membuat hidup jadi bermakna. Memang, masa lalu bukan untuk dilupakan. Tapi cukuplah untuk jadi ingatan, agar setiap lobang-lobangnya tidak membuat kita terperosok untuk yang kedua kali.
“Belum tidur?” tampaknya seorang teman sekerjaku baru terjaga dari tidurnya.
“Belum, aku sulit tidur malam ini,” jawabku sekenanya.
“Kenapa, ada masalah?”
“Enggak, lagi pingin lek-lek-an saja,” kulirik angka-angka di pojok kiri komputerku. Jam 3:22. Hampir subuh! batinku.
“Kangen sama Oga, ya?” temanku membenahi kancing jaketnya.
Oga (Semoga Bahagia), anakku, umurnya baru 5,5 bulan, perempuan. Tentu sekarang sedang tidur pulas di pelukan ibunya. Kemarin, mereka ke bidan, Oga harus imunisasi. Tiga hari paling tidak mereka kutinggal lembur tiap minggunya, tentu membuat mereka kesepian dan itu membuatku sedih.
“Yah, bisa jadi?” jawabku, “kau enggak usah kembali tidur, sebentar lagi sahur.”
Di kantor, meskipun dengan menu sederhana, makan sahur selalu mengantar kerinduan kepada masa kecil. Sembari menahan kantuk, menyentong nasi dan sejumput lauk dan melahapnya nyaris bagaikan mimpi. Hanya karena tak dapat membayangkan lapar yang melilit di siang hari, makan sahur dilakukan. Masa kecil dengan kesederhanaan pola berpikirnya, tak pernah mempertanyakan lebih jauh untuk apa semua itu dilakukan. Jawaban-jawaban singkat dari orang tua di sekitar, sering membungkam mulut untuk bertanya lebih jauh. Kini, bila makan sahur kulakukan, tentu bukan karena takut lapar tak tertahan besok.
Seperti puasa, kulakukan karena itu perintah. Untuk bertakwa, kata Tuhan. Mudah-mudahan aku bisa. Makan sahur kulakukan kini sebatas melanjutkan tradisi Rasulullah SAW. Kalaupun itu menjaga kondisiku selalu segar di siang hari, itu sekedar konsekuensi logis belaka. Tapi bukan karena takut lapar, sebab perasaan lapar sudah lama dapat kukendalikan, hanya saja mungkin perutku yang tak kuat menahan sakit yang melilit. Kadang aku tak habis mengerti, ketika ustadz, kiai, ulama, di media-media massa memotivasi orang untuk berpuasa dengan menyebut sederet manfaat. Puasa bisa sembuhkan sakit maag, bisa memberi waktu istirahat pada organ pencernaan yang akan membuatnya kuat, bisa timbulkan rasa empati orang kaya kepada saudaranya yang miskin, bisa menimbulkan rasa kasih sayang, dan sekian manfaat lain dengan tentu saja ditopang teori dan pendapat para pakar.
Padahal, jelas-jelas Tuhan sebut tujuan puasa dalam perintahnya, “.... agar kamu bertakwa.” Agar takut pada-Nya. Sebab, makna dasar dari takwa adalah takut. Takut pada siksa-Nya, takut pada hari pembalasan-Nya, takut pada hari perhitungan-Nya, takut pada ketidakmampuan bersyukur atas nikmat-Nya. Takut, yang pasti akan membuat orang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Berpuasa adalah untuk takut pada-Nya. Jadi, jalankan saja karena itu perintah-Nya.
“Ya Allah, Engkau yang membuat kecenderungan di dalam hati, cenderungkanlah hatiku untuk taat kepada-Mu.” Adalah doa yang pernah diajarkan nenekku, “Untuk memperkuat takwa,” katanya suatu hari.
Temanku tadi menggeliat sebentar, tangannya mengucek-ucek mata yang samar kulihat agak merah.
“Jadi, kau hunting ke Lampung Timur?” tanyaku setelah melihatnya bangkit dari karpet hijau yang juga berfungsi sebagai alas shalat itu.
“Agak siangan,” jawabnya sembari tangannya membenahi rambutnya yang kusut, digunakan jari-jari tangan seperti layaknya sebuah sisir.
“Lagi bikin apa?” sejenak ia melongok ke layar komputerku.
“Coba bikin cerpen, kayaknya sudah cukup. Untuk terbitan edisi depan,” jawabku sembari menutup jendela kerja.***
Hari-hariku memang lebih banyak kunikmati di kamar kerjaku ini, sebuah ruang yang di pintu masuknya tertulis dengan nada kasar, “Ruang Redaksi, Selain redaktur Dilarang Masuk.” Aku membenamkan diri dalam kerja panjang yang tidak pernah berakhir. Tuntutan tenggang waktu, selalu membuat pekerjaan terburu-buru. Dan itu selalu begitu, dari menit ke menit lewat begitu saja seperti berlalunya usia yang kian lama semakin tua.
Aku tak mampu membayangkan, kalau rutinitas yang kumiliki ini boleh jadi akan berakhir sebagai kesia-siaan, tanpa pernah mencapai tujuannya. Waktu selalu mengantarku kepada keinginan-keinginan, lamunan-lamunan, mimpi-mimpi, harapan-harapan. Dan untuk itu semua, aku membutuhkan lebih banyak waktu daripada yang jelas sudah tersedia untukku (toh hidup sekedar menunggu batas ajal). Sepuluh tahun lalu, aku masih berdiri di Tugu Ireng kulon Kali Krasak, perbatasan antara Kabupaten Magelang dan DI Yogyakarta. Sepuluh menit lalu, kucium tangan keriput mBah Putri yang telah memanjakanku bertahun-tahun di depan pintu rumah. Di satu desa, Kidul Kretek Kali Krasak, kukira hingga kini hanya ada satu madrasah di sana dan rumah itu hanya beberapa langkah di sebelah utaranya. Menunggu bus jurusan Yogya, lalu perjalanan hari itu mengantarku ke Lampung.
Tak ada kesan khusus selama di perjalanan. Kata-kata akhir dari seorang sahabatku, “Sekali kau minum air Kali Krasak, ke manapun kau pergi, hatimu akan terbawa hanyut ke Laut Kidul. Dan kau pasti akan kembali.” Membuatku tak bisa menghilangkan kesan mendalam pada Gunung Merapi, yang setiap tahun mengajarkan bagaimana cara mengungsi bila laharnya meluber ke desa. Kalau sekarang aku ada di sini, mengikuti pusaran waktu yang berjalan mundur. Itu tidak lain hanya sekedar upaya menetralisir perasaan, bukan hanyut dalam kenangan entah itu pahit atau manis. Waktu terus berjalan ke depan, kenapa mesti memaksanya mengulang perjalanannya sembari mengingat-ingat duka. Memupuk penyesalan dan kadang dendam.
Memang, manusia selalu dihantui oleh masa lalu. Endapan lumpur keinginan-keinginan yang dipaksa dilupakan, namun selalu gagal dan menciptakan gejolak perasaan yang tidak mendekatkan kepada realita tetapi justru mengantar kepada alienasi jiwa. Dunia terus berputar, sementara sebagian orang mabuk oleh masa lalunya hingga lupa diri. Sebagian yang lain menciptakan dunianya dan membuat hidup jadi bermakna. Memang, masa lalu bukan untuk dilupakan. Tapi cukuplah untuk jadi ingatan, agar setiap lobang-lobangnya tidak membuat kita terperosok untuk yang kedua kali.
“Belum tidur?” tampaknya seorang teman sekerjaku baru terjaga dari tidurnya.
“Belum, aku sulit tidur malam ini,” jawabku sekenanya.
“Kenapa, ada masalah?”
“Enggak, lagi pingin lek-lek-an saja,” kulirik angka-angka di pojok kiri komputerku. Jam 3:22. Hampir subuh! batinku.
“Kangen sama Oga, ya?” temanku membenahi kancing jaketnya.
Oga (Semoga Bahagia), anakku, umurnya baru 5,5 bulan, perempuan. Tentu sekarang sedang tidur pulas di pelukan ibunya. Kemarin, mereka ke bidan, Oga harus imunisasi. Tiga hari paling tidak mereka kutinggal lembur tiap minggunya, tentu membuat mereka kesepian dan itu membuatku sedih.
“Yah, bisa jadi?” jawabku, “kau enggak usah kembali tidur, sebentar lagi sahur.”
Di kantor, meskipun dengan menu sederhana, makan sahur selalu mengantar kerinduan kepada masa kecil. Sembari menahan kantuk, menyentong nasi dan sejumput lauk dan melahapnya nyaris bagaikan mimpi. Hanya karena tak dapat membayangkan lapar yang melilit di siang hari, makan sahur dilakukan. Masa kecil dengan kesederhanaan pola berpikirnya, tak pernah mempertanyakan lebih jauh untuk apa semua itu dilakukan. Jawaban-jawaban singkat dari orang tua di sekitar, sering membungkam mulut untuk bertanya lebih jauh. Kini, bila makan sahur kulakukan, tentu bukan karena takut lapar tak tertahan besok.
Seperti puasa, kulakukan karena itu perintah. Untuk bertakwa, kata Tuhan. Mudah-mudahan aku bisa. Makan sahur kulakukan kini sebatas melanjutkan tradisi Rasulullah SAW. Kalaupun itu menjaga kondisiku selalu segar di siang hari, itu sekedar konsekuensi logis belaka. Tapi bukan karena takut lapar, sebab perasaan lapar sudah lama dapat kukendalikan, hanya saja mungkin perutku yang tak kuat menahan sakit yang melilit. Kadang aku tak habis mengerti, ketika ustadz, kiai, ulama, di media-media massa memotivasi orang untuk berpuasa dengan menyebut sederet manfaat. Puasa bisa sembuhkan sakit maag, bisa memberi waktu istirahat pada organ pencernaan yang akan membuatnya kuat, bisa timbulkan rasa empati orang kaya kepada saudaranya yang miskin, bisa menimbulkan rasa kasih sayang, dan sekian manfaat lain dengan tentu saja ditopang teori dan pendapat para pakar.
Padahal, jelas-jelas Tuhan sebut tujuan puasa dalam perintahnya, “.... agar kamu bertakwa.” Agar takut pada-Nya. Sebab, makna dasar dari takwa adalah takut. Takut pada siksa-Nya, takut pada hari pembalasan-Nya, takut pada hari perhitungan-Nya, takut pada ketidakmampuan bersyukur atas nikmat-Nya. Takut, yang pasti akan membuat orang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Berpuasa adalah untuk takut pada-Nya. Jadi, jalankan saja karena itu perintah-Nya.
“Ya Allah, Engkau yang membuat kecenderungan di dalam hati, cenderungkanlah hatiku untuk taat kepada-Mu.” Adalah doa yang pernah diajarkan nenekku, “Untuk memperkuat takwa,” katanya suatu hari.
Temanku tadi menggeliat sebentar, tangannya mengucek-ucek mata yang samar kulihat agak merah.
“Jadi, kau hunting ke Lampung Timur?” tanyaku setelah melihatnya bangkit dari karpet hijau yang juga berfungsi sebagai alas shalat itu.
“Agak siangan,” jawabnya sembari tangannya membenahi rambutnya yang kusut, digunakan jari-jari tangan seperti layaknya sebuah sisir.
“Lagi bikin apa?” sejenak ia melongok ke layar komputerku.
“Coba bikin cerpen, kayaknya sudah cukup. Untuk terbitan edisi depan,” jawabku sembari menutup jendela kerja.***