Penyampaian segala sesuatu yang berasal dari Allah SWT bergantung pada pengetahuan tentang apa yang disampaikannya dan pada kejujuran dalam menyampaikan kebenarannya. Oleh karena itu, tingkat penyampaian berdasarkan riwayat dan fatwa tidak akan baik dan benar kecuali berdasarkan pengetahuan dan kejujuran. Sehingga, yang menyampaikan seharusnya adalah seorang alim yang mengetahui persoalan yang disampaikannya dan mengakui kebenarannya.
Syarat lainnya adalah caranya yang baik, riwayat hidupnya tidak tercela, adil dan benar dalam perkatan dan perbuatannya, serta keadaan batin dan lahirnya seimbang dan tidak bertentangan. Jika kedudukan pengetahuan orang yang mendapatkan pengesahan dari penguasa tidak diragukan lagi keutamaannya, posisinya juga tidak abstrak, dan itu merupakan kedudukan yang paling tinggi, maka bagaimana kedudukan pengetahuan orang yang memperolehnya dari Tuhan Yang Menguasai langit dan bumi?
Berdasarkan hal tersebut, adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak menempati posisi itu untuk mempersiapkan dirinya secara matang dan mempersiapkan bekal yang cukup. Ia harus mengetahui berdasarkan posisi yang hendak ditempatinya. Di dalam hatinya tidak boleh ada keberatan untuk mengatakan kebenaran dan tidak ada pula yang menghalanginya. Karena, Allah adalah penolongnya dan memberinya petunjuk. Bagaimana derajat posisi yang dikelola sendiri oleh Tuhan Yang Maha Menguasai segalanya, dan Dia berfirman yang artinya, "Dan, mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Alquran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan, (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan, kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya'." (An-Nisaa': 127).
Cukuplah kemuliaan dan keagungan yang telah ditentukan sendiri oleh Allah Taala ketika Dia berfirman, "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan, jika mereka (ahli waris itu sendiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu'." (An-Nisaa': 176).
Oleh karena itu, seorang mufti (tukang fatwa) hendaklah mengetahui secara tepat dari mana ia mendapatkan fatwanya dan kepada siapa ia menyandarkannya. Ia harus meyakini pula bahwa ia akan dimintai pertanggungjawabannya dan akan dibawa ke pengadilan di hadapan Allah.
Sumber: Diadaptasi dari I'laam al-Muwaqqi'iin 'an Rabbil 'Aalamiin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah