Di bawah ini artikel tentang Diskriminasi ilmu umum dan agam yang membahas tentang: Dualisme Pendidikan, Integrasi Pendidikan Agama Dan Umum, Madrasah dan skb tiga menteri, Kurikulum berbasis kompetensi, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, Pembelajaran tematik
A. Pendahuluan
Kebijakan Negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang berlangsung di lembaga legislatif dan eksekutif. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan yang dilakukan Negara di bidang pendidikan merupakan merupakan cermin dari politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan, hal ini juga termasuk terhadap pendidikan Islam yang secara factual sejak semula merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Dalam sistem pendidikan nasional pendidikan Islam mengalami berbagai dinamika,baik sebagai implikasi maupun imbas dari kebijakan yang diperbuat oleh negara mengenai pendidikan, maupun daru hasil dinamika internal sistem pendidikan Islam sendiri dalam merespons perubahan tuntutan dan aspirasi masyarakat serta penyesuaian terhadap kebijakan yang berlaku.
Posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional secara normatif dapat dilihat dari perkembangan kebijakan Negara terhadap pendidikan Islam, baik pendidikan itu di yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam, seperti pendidikan di madrasah dan pondok pesantren, maupun pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum disekolah umum.
Mengenai pendidikan Islam, sesungguhnya dalam lintasan sejarah perjalanannya di Indonesia baik sebagai sistem pendidikan nasional maupun kurikulum di sekolah umum mengalami pergeseran pengakuan dari pendidikan yang termajinalkan, seperti yang telah dipraktekkan oleh pemerintahan Belanda dengan melancarkan dualisme pendidikan, sampai pada pengakuan eksistensi yang sama seperti sekolah umum. Pengakuan persamaan kedudukan madrasah yang diakui pemerintah dalam pelaksanaan wajib belajar dengan sekolah umum negeri memperlihatkan bahwa lembaga pendidikan Islam dipandang dapat memenuhi kewajiban pelaksanaan wajib belajar bagi masyarakat.
Selanjutnya berhubungan dengan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik sebagai lembaga pendidikan yang berada dalam naungan sistem pendidikan nasional maupun sebagai muatan kurikulum sekolah, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan Islam tersebut, seperti kebijakan dualisme pendidikan, upaya pengintegrasian pendidikan agama dan umum, SKB Tiga menteri yang mengakui keberadaan madrasah, dan kebijakan pengembagan kurikulum yang dalam pembahasan kurikulum ini dikhususkan kepada KBK dan KTSP.
B.Dualisme Pendidikan
Sebelum menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di Indonesia, terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan memberikan penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan pemahaman yang utuh.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan[1]. Selanjutnya secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Selanjutnya kata dualisme sangat erat hubungannnya dengan kata dikotomi yang didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan[2], secara terminologi dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam[3].
Selanjutnya mengenai penjelasan dualisme pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama[4].
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada pendidikan adalah adanya pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi kantor pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang memiliki kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin, latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis , kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Selain sekolah-sekolah[5] tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata pelajaran umum, seperti :
1. Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya meliputi : mata pelajran memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya.
2. Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini adalah bahasa Belanda.
3. Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah lanjutan dari HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu digunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam dan seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial.
4. Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.
5. Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan timur dan A2 bagian klasik barat, dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, maka terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif, yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa pemerintahan Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini dinyatakan dalam pasal 179 (2) IS (Indische Staatsregeling), dan dalam beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah[6].
Dari penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan yang menekan terutama terhadap masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan pemerintahan Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri[7].
Kebijakan pendidikan Belanda yang memberlakukan ordonansi guru tersebut memberikan penekanan pada masyarakat muslim pada saat itu, hal ini dilakukan Belanda sebagai usaha untuk meredam perkembangan pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang memperluas pengembangan agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Hal ini dilakukan pihak Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kekhawatiran mereka jika pemahaman agama Islam berkembang maka ini akan dapat melahirkan sebuah gerakan sosial agama khususnya Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus mendorong sikap anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan Islam tentu saja sangat beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda[8].
Pada saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya kebijakan pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, seperti MULO met de Qur’an.
Dengan adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat itu yang tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan juga mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda, walaupun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan perhatiannya terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas dari hal itu, kita harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan tidak lagi mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya mengakui pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan.
Hal ini merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah pengajaran agama madrsah dan pesantren[9].
Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan usul badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja sebagai berikut :
Pengaajran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur yang benar, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintahan[10].
Dari penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme pendidikan, walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang pasti terhadap pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum kemerdekaan.
C.Integrasi Pendidikan Agama dan Umum
Gagasan dan upaya untuk mewujudkan kebijakan pendidikan nasional yang terintegrasi dengan meniadakan dualisme sistem pendidikan telah mulai muncul sejak awal kemerdekaan Indonesia, dimana pemerintah mulai menyiapkan rancangan kebijakan pendidikan nasional dalm bentuk undang-undang sistem pedidikan.
Undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama ditetapkan setelah Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) sesungguhnya mulai mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan islam, yaitu bahwa mereka yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang telah diakui oleh Menteri Agama (pemerintah) di pandang telah menyelesaikan wajib belajar.
Dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama tersebut merupakan jembatan dalam melakukan intergrasi pendidikan agama dan umum dalam sistem pendidikan nasional. Disamping itu, undang-undang tersebut juga mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum negeri, serta keterlibatan pemerintah dalam upaya penyediaan dan pembinaan guru agama yang mengajarkan mata pelajaran agama.
Dalam upaya mengintegrasikan sistem pendidikan nasional Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.
Mengenai kedua kebijakan pemerintahan tersebut Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa pada mulanya mendapat tantangan keras dari kalangan pendukung pendidikan Islam. Namun berdasarkan hasil keputusan pertemuan MP3AI yang disampaikan kepada presiden melalui menteri agama, akhirnya diputuskan kompromi dengan dikeluarkannya SKB tiga Menteri (P & K, Dalam Negeri, dan Menteri Agama) yang menetapkan ketentuantentang kurikulum madrasah yang menyeimbangkan antara kurikulum umum dengan kurikulum agama (70% : 30%)[11].
Implementasi kebijakan tersebut di lingkungan madrasah menandai langkah awal bagi terciptanya integrasi pendidikan Islam di madrasah dengan sekolah umum, hal ini mengisyaratkan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di sekolah umum karena dengan adanya kebijakan tersebut maka kedudukan madrasah disamakan dengan sekolah umum.
Selanjutnya dalam upaya melakukan pengintegrasian diantara pendidikan agama dan umum, maka pada tahun 1989 dikeluarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru sebagai penggati UU No. 14 Tahun 1954. Undang-Undang tersebut menempatkan posisi madrasah pada pada semua jenjang sebagai sekolah umum yang bercirikan Islam dengan ketetapan pelaksanaan kurikulum pendidikan nasional di lingkungan madarasah.
Selanjutnya kebijakan pemerintah yang mutakhir dalam upaya pengintegrasian pendidikan umum dan agama adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang Undang-Undang tersebut mengakomodasi prinsip otonomi daerah dan mengantisipasi persaingan global.
Salah satu prinsip yang mendasar dari prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Karena ini karena adanya tuntutan untuk diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam berbangsa dan bernegara.
Selain itu dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut adalah untuk menjembatani mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
D.Madrasah Dan SKB Tiga Menteri.
Keberadaan madrasah di Indonesia sejak awal abad ke 20 merupakan jembatan antara pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan pada tafaqquh fiddin dan sekolah umum yang lebih mengutamakan kurikulum pengetahuan umum[12].
Keberadaan madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah dalam pendidikan nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan madrasah tersebut, sebagai berikut :[13]
1. Fase antara tahun 1945-1974
Pada fase ini madrasah lebih berkosentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama, dan diajarkan pengetahuan umum sebagai pendamping dan untuk memperluas cakrawala piker para pelajar. Pengertian madrasah pada fase ini adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama RI No.7 Tahun 1950, madrasah adalah :
a. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.
b. Pondok dan pesantren member pendidikan setingkat madrasah.
2. Fase antara tahun 1975-1989
Fase diberlakukannya SKB Tiga menteri. Inti dari SKB ini adalah diakuinya kesetaraan anatara madrasah dengan sekolah : SD = MI, SLTP = MTs, dan SLTA = MA. Definisi madrasah pada periode ini adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
3. Fase antar tahun 1990-sekarang.
Fase ini adalah mulai diberlakukannya UU No.2 Tahun 1898 (UUSPN) dan diikuti dengan pelaksanaan PP No.28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Madrsah pada fase ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan adalah mata pelajaran yang persis dengan sekolah umum. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan agama, seperti aqidah akhlak, fiqh, quran hadis, bahasa Arab, dan SKI. Pada tingkat pendidikan menengah madrasah ini dibagi kepada dua macam, pertama Madarsah Aliyah, program ini sama dengan sekolah menengah umum, kedua Madrasah Aliyah Keagamaan.
Selanjutnya sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan di madrasah, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud)[14].
Tujuan dari SKB Tiga Menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, sehingga tingkat mata pelajran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yang setingkat[15] . Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
b. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
c. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
d. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).
Dengan kehadiran SKB Tiga Menteri ini, madrasah yang pada awalnya dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama madrasah.
SKB Tiga Menteri ini mengakui madrasah sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, hal ini menuntut madrasah agar mengembangkan kwalitas pendidikan dengan berusaha memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum dalam bersamaan dengan baik.
E.Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Terdapat berbagai macam kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya memperbaiki kwalitas pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berbentuk kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan, sistem pendidikan, profesionalisme pendidik bahkan sampai kepada kebijakan pengembangan kurikulum.
Terlepas dari berbagai macam kebijakan tersebut yang telah diupayakan oleh pemerintah, maka dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai Salah satu kebijakan pemerintah tersebut, yaitu kebijakan pengembangan kurikulum, yang difokuskan kepada pembahasan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang disingkat dengan KBK dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang disingkat KTSP.
Untuk menyegarkan kembali tentang makna kurikulum, maka beragam definisi tentang kurikulum tersebut telah mewarnai sepanjang perjalanan pendidikan itu berlangsung. Sebagian pendapat mendefinisikan bahwa kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik (Saylor,Alexander, Lewis,1981). Kurikulum dalam hal ini sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah.
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab sekolah (Hollis L caswell, Doak S.Campbell, dan Murray Lee).
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran. Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan , disamping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan (Hilda Taba, Donald E. Orlosky, dan Peter F Olivia).
Mengenai makna kurikulum, Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sit, tertuang bahwa kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Bab 1,Pasal1 Ayat 19).
a. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Dalam dokumen kurikulum 2004 Departemen Pendidikan Nasional, sebagaimana yang dikutip oleh Wina Sanjaya dijelaskan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan[16].
Selanjutnya kurikulum berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar permormansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu[17].
Kedua pendapat diatas mengisyaratkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik memiliki berbagai macam kompetensi.
Selanjutnya kompetensi apa yang akan dicapai siswa melalui kurikulum berbasis kompetensi ini ?. Setidaknya terdapat empat kompetensi dasar yang harus dimiliki sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu sebagai berikut :
1. Kompetensi akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara indenpenden.
2. Kompetensi okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesipan dan mampu beradaptasi terhadap dunia kerja.
3. Kompetensi cultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang pluralistik.
4. Kompetensi temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan zaman.
Mengenai kompetensi, pada dasarnya kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam dalam pola prilaku. Artinya seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya sekadar tahu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola prilaku atau tindakan yang ia lakukan[18]. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Kurikulum berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertetu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk prilaku atau keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan.
Selanjutnya mengenai munculnya kurikulum berbasis kompetensi ini yang merupakan salah satu bentuk kebijakan pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang berkwalitas yang merupakan dampak yang baik dari semangat reformasi pendidikan.
Munculnya kurikulum berbasis kompetensi ini dilandasi dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah otonom, lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Arah kebijakan Pendidikan di Masa Depan.
Pemberlakuan kebijakan tersebut, mengarahkan pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan perubahan sistem pengelolaan pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi pengelolaan pendidikan yang bersifat desentralistik, yang berarti bia sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kemenangan untuk mengelola berada pada pemerintahan daerah kota/ kabupaten.
Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi ini yang sesuai dengan undang-undang tersebut maka setiap daerah yang berbentuk kotamdya maupun kabupaten memiliki kewenangan untuk mengembangkan silabus sesuai dengan kurikulum, keadaan sekolah, dan keadaan daerah masing-masing.
b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum tingkat satuan pendididikan yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan. Pendidikan[19].
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karekteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karekteristik peserta didik.
Dalam hal penerepannya diharapkan pihak sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, agar mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi dinas kabupaten kota yang bertanggung jawab di bidang pedidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2, sebagai berikut :
1. Pengembangan kurikulum mengacu pada standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan setempat.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkansikap tanggap pemerintahan terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing.
Mengenai tujuan kurikulum tingkat satuan pendidikan, E Mulyasa menjelaskan bahwa tujuan diterapkannya kurikulum ini adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikandan mendorog sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum[20].
c. Analisis Kebijakan KBK dan KTSP
Pada dasarnya pengembangan kurikulum yang dilakukan merupakan suatu yang kompleks, dan melibatkan berbagai komponen, yang tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai factor yang mempengaruhinya.
Pengembangan kurikulum, baik kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingkat satuan pendidikan memfokuskan perhatian keduanya kepada kompetensi, yang meliputi kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang utuh dan terpadu, serta dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud hasil belajar.
Kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum satuan tingkat pendidikan pada dasarnya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi sekolah secara otonomi dalam mengembangkan kwalitasnya sebagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini sekolah dituntut agar melakukan reformasi pendidikan yang berlangsung di sekolah tersebut, seperti reformasi manajemen pendidikan, reformasi kurikulum sekolah, reformasi tenaga pendidik, reformasi sarana dan prasana dan lain-lainnya yang berhubungan dengan kelangsungan pendidikan di sekolah.
Penerapan kurikulum berbasis kompetensi dan kurikukulm tingkat satuan pendidikan pada dasarnya memungkinkan para guru merencanakan, melaksanakan, dan menilai kurikulum serta hasil belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi, dan kompetensi dasar, sebagai cermin penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari.
Penerapan kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingakat satuan pendidikan memberikan peluang yang sangat luas bagi pengembangan fungsi guru, sehingga peran guru setidaknya memiliki empat fungsi, yaitu guru sebagai perencana pembelajaran, guru sebagai pengelola pembelajaran, guru sebagai fasilitator pembelajaran, dan guru sebagai evaluator pembelajaran.
Fungsi guru sebagai perencana pembelajaran adalah guru yang harus memiliki kemampuan yang baik dalam menyusun perencanaan pembelajaran, seperti penyusunan silabus pembelajaran dan rencana pelaksanaan pemebelajaran, hal ini mengisyaratkan bahwa tercapai kompetensi oleh peserta didik sangat berngatung kepada baik dan buruknya perencanaan pembelajaran yang disusun oleh guru.
Fungsi guru sebagai pengelola pembelajaran adalah guru harus memiliki kemampuan menciptakan kondisi lingkungan belajar yang menyenangkan bagi siswa, sihangga dalam proses pembelajaran siswa tidak merasa terpaksa terlebih merasa tertekan.
Fungsi guru sebagai fasilitator pembelajaran adalah guru harus memiliki kemampuan untuk mengenali karekteristik siswa dan gaya belajarnya, hal ini diharuskan agar guru dapat memberi bantuan kepada siswa dalam proses belajar.
Fungsi guru sebagai evaluator adalah guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi, baik mengevaluasi yang bersifat formatif maupun yang bersifat sumatif, evaluasi formatif berfungsi untuk melihat sejauh mana keberhasilan mengajar guru tersebut, dan evaluasi sumatif berfungsi menentukan keberhasilan belajar siswa.
F. Pembelajaran Tematik
Pembelajaan tematik adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983).
Pembelajaran tematik merupakan strategi pembelajaran yang diterapkan bagi anak kelas awal sekolah dasar.Sesuai dengan tahapan perkembangan anak, karakteristik cara anak belajar, konsep belajar dan pembelajaran bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal SD sebaiknya dilakukan dengan Pembelajaran tematik.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap perkembangannya siswa yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik).
Dengan pembelajaran tematik ini diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya:
1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu,
2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama;
3) pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan;
4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan matapelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa;
5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas;
6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain;
7) guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Daftar Pustaka
Djamas Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989).
Mulyasa E., Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karekteristik, dan Implementasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2002).
--------------------- , Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis, ( Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007).
Muslich Masnur, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009).
Putra Haidar Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000).
----------------------, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002).
Sanjaya Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008).
Saridjo Marwan, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco,1996).
Usa Muslih (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Ti
ara Wacana, 1991).
_______________
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet. 2, h. 214
[2]Ibid
[3] Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104.
[4]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco,1996), h. 22
[5] Untuk mengetahui informasi tentang sekolah-sekolah tersebut baca Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000).
[6] Haidar, Ibid, h.49
[7] Haidar, Ibid. Mengenai ordonansi guru Baca juga Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008). h.176-180.
[8] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 178-179
[9] Haidar, Ibid, h. 52
[10] Ibid.
[11] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 210
[12] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 197
[13] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002), h. 51-52
[14] http : / /bahrululummunir.blogspot.com/2011/05/skb-3-menteri-tahun-1975-dan.html, SKB 3 Menteri tahun 1975 dan Implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam.
[15] Haidar Putra Daulay, Op.cit, h. 4
[16] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.6
[17] E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karekteristik, dan Implementasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2002) h. 39.
[18] Wina Sanjaya, Ibid, h. 7
[19] Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009), h. 17.
[20] E.Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis, ( Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007), h.22
A. Pendahuluan
Kebijakan Negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang berlangsung di lembaga legislatif dan eksekutif. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan yang dilakukan Negara di bidang pendidikan merupakan merupakan cermin dari politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan, hal ini juga termasuk terhadap pendidikan Islam yang secara factual sejak semula merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Dalam sistem pendidikan nasional pendidikan Islam mengalami berbagai dinamika,baik sebagai implikasi maupun imbas dari kebijakan yang diperbuat oleh negara mengenai pendidikan, maupun daru hasil dinamika internal sistem pendidikan Islam sendiri dalam merespons perubahan tuntutan dan aspirasi masyarakat serta penyesuaian terhadap kebijakan yang berlaku.
Posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional secara normatif dapat dilihat dari perkembangan kebijakan Negara terhadap pendidikan Islam, baik pendidikan itu di yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam, seperti pendidikan di madrasah dan pondok pesantren, maupun pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum disekolah umum.
Mengenai pendidikan Islam, sesungguhnya dalam lintasan sejarah perjalanannya di Indonesia baik sebagai sistem pendidikan nasional maupun kurikulum di sekolah umum mengalami pergeseran pengakuan dari pendidikan yang termajinalkan, seperti yang telah dipraktekkan oleh pemerintahan Belanda dengan melancarkan dualisme pendidikan, sampai pada pengakuan eksistensi yang sama seperti sekolah umum. Pengakuan persamaan kedudukan madrasah yang diakui pemerintah dalam pelaksanaan wajib belajar dengan sekolah umum negeri memperlihatkan bahwa lembaga pendidikan Islam dipandang dapat memenuhi kewajiban pelaksanaan wajib belajar bagi masyarakat.
Selanjutnya berhubungan dengan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik sebagai lembaga pendidikan yang berada dalam naungan sistem pendidikan nasional maupun sebagai muatan kurikulum sekolah, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan Islam tersebut, seperti kebijakan dualisme pendidikan, upaya pengintegrasian pendidikan agama dan umum, SKB Tiga menteri yang mengakui keberadaan madrasah, dan kebijakan pengembagan kurikulum yang dalam pembahasan kurikulum ini dikhususkan kepada KBK dan KTSP.
B.Dualisme Pendidikan
Sebelum menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di Indonesia, terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan memberikan penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan pemahaman yang utuh.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan[1]. Selanjutnya secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Selanjutnya kata dualisme sangat erat hubungannnya dengan kata dikotomi yang didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan[2], secara terminologi dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam[3].
Selanjutnya mengenai penjelasan dualisme pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama[4].
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada pendidikan adalah adanya pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi kantor pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang memiliki kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin, latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis , kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Selain sekolah-sekolah[5] tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata pelajaran umum, seperti :
1. Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya meliputi : mata pelajran memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya.
2. Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini adalah bahasa Belanda.
3. Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah lanjutan dari HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu digunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam dan seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial.
4. Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.
5. Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan timur dan A2 bagian klasik barat, dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, maka terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif, yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa pemerintahan Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini dinyatakan dalam pasal 179 (2) IS (Indische Staatsregeling), dan dalam beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah[6].
Dari penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan yang menekan terutama terhadap masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan pemerintahan Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri[7].
Kebijakan pendidikan Belanda yang memberlakukan ordonansi guru tersebut memberikan penekanan pada masyarakat muslim pada saat itu, hal ini dilakukan Belanda sebagai usaha untuk meredam perkembangan pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang memperluas pengembangan agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Hal ini dilakukan pihak Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kekhawatiran mereka jika pemahaman agama Islam berkembang maka ini akan dapat melahirkan sebuah gerakan sosial agama khususnya Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus mendorong sikap anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan Islam tentu saja sangat beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda[8].
Pada saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya kebijakan pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, seperti MULO met de Qur’an.
Dengan adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat itu yang tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan juga mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda, walaupun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan perhatiannya terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas dari hal itu, kita harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan tidak lagi mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya mengakui pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan.
Hal ini merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah pengajaran agama madrsah dan pesantren[9].
Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan usul badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja sebagai berikut :
Pengaajran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur yang benar, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintahan[10].
Dari penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme pendidikan, walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang pasti terhadap pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum kemerdekaan.
C.Integrasi Pendidikan Agama dan Umum
Gagasan dan upaya untuk mewujudkan kebijakan pendidikan nasional yang terintegrasi dengan meniadakan dualisme sistem pendidikan telah mulai muncul sejak awal kemerdekaan Indonesia, dimana pemerintah mulai menyiapkan rancangan kebijakan pendidikan nasional dalm bentuk undang-undang sistem pedidikan.
Undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama ditetapkan setelah Indonesia merdeka, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) sesungguhnya mulai mengakui keberadaan dari lembaga pendidikan islam, yaitu bahwa mereka yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang telah diakui oleh Menteri Agama (pemerintah) di pandang telah menyelesaikan wajib belajar.
Dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang pertama tersebut merupakan jembatan dalam melakukan intergrasi pendidikan agama dan umum dalam sistem pendidikan nasional. Disamping itu, undang-undang tersebut juga mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan agama disekolah umum negeri, serta keterlibatan pemerintah dalam upaya penyediaan dan pembinaan guru agama yang mengajarkan mata pelajaran agama.
Dalam upaya mengintegrasikan sistem pendidikan nasional Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.
Mengenai kedua kebijakan pemerintahan tersebut Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa pada mulanya mendapat tantangan keras dari kalangan pendukung pendidikan Islam. Namun berdasarkan hasil keputusan pertemuan MP3AI yang disampaikan kepada presiden melalui menteri agama, akhirnya diputuskan kompromi dengan dikeluarkannya SKB tiga Menteri (P & K, Dalam Negeri, dan Menteri Agama) yang menetapkan ketentuantentang kurikulum madrasah yang menyeimbangkan antara kurikulum umum dengan kurikulum agama (70% : 30%)[11].
Implementasi kebijakan tersebut di lingkungan madrasah menandai langkah awal bagi terciptanya integrasi pendidikan Islam di madrasah dengan sekolah umum, hal ini mengisyaratkan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di sekolah umum karena dengan adanya kebijakan tersebut maka kedudukan madrasah disamakan dengan sekolah umum.
Selanjutnya dalam upaya melakukan pengintegrasian diantara pendidikan agama dan umum, maka pada tahun 1989 dikeluarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru sebagai penggati UU No. 14 Tahun 1954. Undang-Undang tersebut menempatkan posisi madrasah pada pada semua jenjang sebagai sekolah umum yang bercirikan Islam dengan ketetapan pelaksanaan kurikulum pendidikan nasional di lingkungan madarasah.
Selanjutnya kebijakan pemerintah yang mutakhir dalam upaya pengintegrasian pendidikan umum dan agama adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang Undang-Undang tersebut mengakomodasi prinsip otonomi daerah dan mengantisipasi persaingan global.
Salah satu prinsip yang mendasar dari prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Karena ini karena adanya tuntutan untuk diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam berbangsa dan bernegara.
Selain itu dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut adalah untuk menjembatani mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani dualisme dan dikotomi dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
D.Madrasah Dan SKB Tiga Menteri.
Keberadaan madrasah di Indonesia sejak awal abad ke 20 merupakan jembatan antara pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan pada tafaqquh fiddin dan sekolah umum yang lebih mengutamakan kurikulum pengetahuan umum[12].
Keberadaan madrasah mengalami rentetan perjalanan panjang sejarah dalam pendidikan nasional. Haidar setidaknya mancatat tiga fase perkembangan madrasah tersebut, sebagai berikut :[13]
1. Fase antara tahun 1945-1974
Pada fase ini madrasah lebih berkosentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama, dan diajarkan pengetahuan umum sebagai pendamping dan untuk memperluas cakrawala piker para pelajar. Pengertian madrasah pada fase ini adalah sesuai dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama RI No.7 Tahun 1950, madrasah adalah :
a. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.
b. Pondok dan pesantren member pendidikan setingkat madrasah.
2. Fase antara tahun 1975-1989
Fase diberlakukannya SKB Tiga menteri. Inti dari SKB ini adalah diakuinya kesetaraan anatara madrasah dengan sekolah : SD = MI, SLTP = MTs, dan SLTA = MA. Definisi madrasah pada periode ini adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
3. Fase antar tahun 1990-sekarang.
Fase ini adalah mulai diberlakukannya UU No.2 Tahun 1898 (UUSPN) dan diikuti dengan pelaksanaan PP No.28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Madrsah pada fase ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan adalah mata pelajaran yang persis dengan sekolah umum. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam diajarkan ilmu pengetahuan agama, seperti aqidah akhlak, fiqh, quran hadis, bahasa Arab, dan SKI. Pada tingkat pendidikan menengah madrasah ini dibagi kepada dua macam, pertama Madarsah Aliyah, program ini sama dengan sekolah menengah umum, kedua Madrasah Aliyah Keagamaan.
Selanjutnya sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan di madrasah, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud)[14].
Tujuan dari SKB Tiga Menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, sehingga tingkat mata pelajran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yang setingkat[15] . Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah, yaitu:
a. Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA
b. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.
c. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
d. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB Tiga Menteri Tahun 1975 Bab II pasal 2).
Dengan kehadiran SKB Tiga Menteri ini, madrasah yang pada awalnya dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama madrasah.
SKB Tiga Menteri ini mengakui madrasah sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, hal ini menuntut madrasah agar mengembangkan kwalitas pendidikan dengan berusaha memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum dalam bersamaan dengan baik.
E.Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Terdapat berbagai macam kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya memperbaiki kwalitas pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat berbentuk kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan dan manajemen lembaga pendidikan, sistem pendidikan, profesionalisme pendidik bahkan sampai kepada kebijakan pengembangan kurikulum.
Terlepas dari berbagai macam kebijakan tersebut yang telah diupayakan oleh pemerintah, maka dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai Salah satu kebijakan pemerintah tersebut, yaitu kebijakan pengembangan kurikulum, yang difokuskan kepada pembahasan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang disingkat dengan KBK dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang disingkat KTSP.
Untuk menyegarkan kembali tentang makna kurikulum, maka beragam definisi tentang kurikulum tersebut telah mewarnai sepanjang perjalanan pendidikan itu berlangsung. Sebagian pendapat mendefinisikan bahwa kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik (Saylor,Alexander, Lewis,1981). Kurikulum dalam hal ini sering dihubungkan dengan usaha untuk memperoleh ijazah.
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun diluar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab sekolah (Hollis L caswell, Doak S.Campbell, dan Murray Lee).
Pendapat lain menjelaskan bahwa kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran. Sebagai suatu rencana kurikulum bukan hanya berisi tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian tujuan , disamping itu tentu saja berisi tentang alat atau media yang diharapkan dapat menunjang terhadap pencapaian tujuan (Hilda Taba, Donald E. Orlosky, dan Peter F Olivia).
Mengenai makna kurikulum, Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sit, tertuang bahwa kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Bab 1,Pasal1 Ayat 19).
a. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Dalam dokumen kurikulum 2004 Departemen Pendidikan Nasional, sebagaimana yang dikutip oleh Wina Sanjaya dijelaskan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan[16].
Selanjutnya kurikulum berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar permormansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu[17].
Kedua pendapat diatas mengisyaratkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi merupakan kurikulum yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik memiliki berbagai macam kompetensi.
Selanjutnya kompetensi apa yang akan dicapai siswa melalui kurikulum berbasis kompetensi ini ?. Setidaknya terdapat empat kompetensi dasar yang harus dimiliki sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu sebagai berikut :
1. Kompetensi akademik, artinya peserta didik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengatasi tantangan dan persoalan hidup secara indenpenden.
2. Kompetensi okupasional, artinya peserta didik harus memiliki kesipan dan mampu beradaptasi terhadap dunia kerja.
3. Kompetensi cultural, artinya peserta didik harus mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam sistem budaya dan tata nilai masyarakat yang pluralistik.
4. Kompetensi temporal, artinya peserta didik tetap eksis dalam menjalani kehidupannya, serta mampu memanfaatkan ketiga kemampuan dasar yang telah dimiliki sesuai dengan perkembangan zaman.
Mengenai kompetensi, pada dasarnya kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam dalam pola prilaku. Artinya seseorang dikatakan memiliki kompetensi tertentu, apabila ia bukan hanya sekadar tahu tentang sesuatu itu, akan tetapi bagaimana implikasi dan implementasi pengetahuan itu dalam pola prilaku atau tindakan yang ia lakukan[18]. Dengan demikian, maka kompetensi pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Kurikulum berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertetu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk prilaku atau keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan.
Selanjutnya mengenai munculnya kurikulum berbasis kompetensi ini yang merupakan salah satu bentuk kebijakan pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang berkwalitas yang merupakan dampak yang baik dari semangat reformasi pendidikan.
Munculnya kurikulum berbasis kompetensi ini dilandasi dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah otonom, lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Arah kebijakan Pendidikan di Masa Depan.
Pemberlakuan kebijakan tersebut, mengarahkan pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diikuti oleh kebijakan perubahan sistem pengelolaan pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi pengelolaan pendidikan yang bersifat desentralistik, yang berarti bia sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya undang-undang tersebut kemenangan untuk mengelola berada pada pemerintahan daerah kota/ kabupaten.
Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi ini yang sesuai dengan undang-undang tersebut maka setiap daerah yang berbentuk kotamdya maupun kabupaten memiliki kewenangan untuk mengembangkan silabus sesuai dengan kurikulum, keadaan sekolah, dan keadaan daerah masing-masing.
b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum tingkat satuan pendididikan yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan. Pendidikan[19].
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karekteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karekteristik peserta didik.
Dalam hal penerepannya diharapkan pihak sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, agar mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi dinas kabupaten kota yang bertanggung jawab di bidang pedidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2, sebagai berikut :
1. Pengembangan kurikulum mengacu pada standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan setempat.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukkansikap tanggap pemerintahan terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan masing-masing.
Mengenai tujuan kurikulum tingkat satuan pendidikan, E Mulyasa menjelaskan bahwa tujuan diterapkannya kurikulum ini adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikandan mendorog sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum[20].
c. Analisis Kebijakan KBK dan KTSP
Pada dasarnya pengembangan kurikulum yang dilakukan merupakan suatu yang kompleks, dan melibatkan berbagai komponen, yang tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai factor yang mempengaruhinya.
Pengembangan kurikulum, baik kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingkat satuan pendidikan memfokuskan perhatian keduanya kepada kompetensi, yang meliputi kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang utuh dan terpadu, serta dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud hasil belajar.
Kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum satuan tingkat pendidikan pada dasarnya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi sekolah secara otonomi dalam mengembangkan kwalitasnya sebagai lembaga pendidikan. Dalam hal ini sekolah dituntut agar melakukan reformasi pendidikan yang berlangsung di sekolah tersebut, seperti reformasi manajemen pendidikan, reformasi kurikulum sekolah, reformasi tenaga pendidik, reformasi sarana dan prasana dan lain-lainnya yang berhubungan dengan kelangsungan pendidikan di sekolah.
Penerapan kurikulum berbasis kompetensi dan kurikukulm tingkat satuan pendidikan pada dasarnya memungkinkan para guru merencanakan, melaksanakan, dan menilai kurikulum serta hasil belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi, dan kompetensi dasar, sebagai cermin penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari.
Penerapan kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingakat satuan pendidikan memberikan peluang yang sangat luas bagi pengembangan fungsi guru, sehingga peran guru setidaknya memiliki empat fungsi, yaitu guru sebagai perencana pembelajaran, guru sebagai pengelola pembelajaran, guru sebagai fasilitator pembelajaran, dan guru sebagai evaluator pembelajaran.
Fungsi guru sebagai perencana pembelajaran adalah guru yang harus memiliki kemampuan yang baik dalam menyusun perencanaan pembelajaran, seperti penyusunan silabus pembelajaran dan rencana pelaksanaan pemebelajaran, hal ini mengisyaratkan bahwa tercapai kompetensi oleh peserta didik sangat berngatung kepada baik dan buruknya perencanaan pembelajaran yang disusun oleh guru.
Fungsi guru sebagai pengelola pembelajaran adalah guru harus memiliki kemampuan menciptakan kondisi lingkungan belajar yang menyenangkan bagi siswa, sihangga dalam proses pembelajaran siswa tidak merasa terpaksa terlebih merasa tertekan.
Fungsi guru sebagai fasilitator pembelajaran adalah guru harus memiliki kemampuan untuk mengenali karekteristik siswa dan gaya belajarnya, hal ini diharuskan agar guru dapat memberi bantuan kepada siswa dalam proses belajar.
Fungsi guru sebagai evaluator adalah guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi, baik mengevaluasi yang bersifat formatif maupun yang bersifat sumatif, evaluasi formatif berfungsi untuk melihat sejauh mana keberhasilan mengajar guru tersebut, dan evaluasi sumatif berfungsi menentukan keberhasilan belajar siswa.
F. Pembelajaran Tematik
Pembelajaan tematik adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983).
Pembelajaran tematik merupakan strategi pembelajaran yang diterapkan bagi anak kelas awal sekolah dasar.Sesuai dengan tahapan perkembangan anak, karakteristik cara anak belajar, konsep belajar dan pembelajaran bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal SD sebaiknya dilakukan dengan Pembelajaran tematik.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap perkembangannya siswa yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik).
Dengan pembelajaran tematik ini diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya:
1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu,
2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama;
3) pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan;
4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan matapelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa;
5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas;
6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain;
7) guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Daftar Pustaka
Djamas Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989).
Mulyasa E., Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karekteristik, dan Implementasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2002).
--------------------- , Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis, ( Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007).
Muslich Masnur, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009).
Putra Haidar Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000).
----------------------, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002).
Sanjaya Wina, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008).
Saridjo Marwan, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco,1996).
Usa Muslih (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Ti
ara Wacana, 1991).
_______________
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet. 2, h. 214
[2]Ibid
[3] Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104.
[4]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco,1996), h. 22
[5] Untuk mengetahui informasi tentang sekolah-sekolah tersebut baca Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000).
[6] Haidar, Ibid, h.49
[7] Haidar, Ibid. Mengenai ordonansi guru Baca juga Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008). h.176-180.
[8] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 178-179
[9] Haidar, Ibid, h. 52
[10] Ibid.
[11] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 210
[12] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 197
[13] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Medan : IAIN Perss Medan, 2002), h. 51-52
[14] http : / /bahrululummunir.blogspot.com/2011/05/skb-3-menteri-tahun-1975-dan.html, SKB 3 Menteri tahun 1975 dan Implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam.
[15] Haidar Putra Daulay, Op.cit, h. 4
[16] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.6
[17] E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karekteristik, dan Implementasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2002) h. 39.
[18] Wina Sanjaya, Ibid, h. 7
[19] Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009), h. 17.
[20] E.Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis, ( Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2007), h.22