Dewasa ini semakin banyak lembaga pendidikan anak prasekolah yang menawarkan keterampilan “plus” dalam penyelenggaraan pendidikannya, dengan metode pengajaran yang mereka tawarkan sangat beragam. Menyikapi kondisi itu, tak sedikit para orang tua ikut tergiur dengan penawaran tersebut, sehingga hukum demand dan supply pun berlaku. Kendati mengklaim bertujuan untuk mendidik generasi penerus bangsa, namun tak pelak unsur bisnis pun muncul (Suryobroto, 1994 : 5-22). Implikasinya, lembaga dan orangtua terlampau mengharapkan dan menargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, berhitung, menggambar dengan baik, berbahasa asing (Inggris, Arab, dan lain-lain) dengan pengawasan yang sangat ketat, padahal kemampuan anak-anak sangat berbeda. Untuk anak yang kurang mampu akan membuat frustrasi dan hilang semangat belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orang tua yang kemudian orang tua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orang tua itu belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anak-anak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat.
Memanfaatkan momen “memberi yang terbaik” untuk anak-anak, banyak media bermunculan yang bertemakan pendidikan anak, seperti majalah Bobo, si Kancil, Anakku, Anak Shalel, ayah Bunda, juga sering ada program yang menawarkan seminar, ceramah, diskusi atau kursus bagaimana mendidik anak yang efektif melalui media cetak maupun elektronik. Demikian pula perusahaan permainan anak-anak ikut berlomba menawarkan produknya karena memahami bahwa orang tua tidak akan menolak permintaan anak, meskipun kadang-kadang alat-alat permainan tersebut kurang mempunyai nilai edukatif.
Dari sekian banyak tawaran tersebut agaknya cukup menyadarkan para orangtua, terutama pasangan muda di kota, akan pentingnya arti stimulasi dan perhatian orang tua terhadap anak usia dini, sehingga tidak sedikit mereka harus menghabiskan uang, tenaga, dan pikiran demi kualitas anak-anak mereka. Tuliskan singkat yang berbentuk makalah ini bermaksud untuk meninjau secara psikologis mengenai pendidikan anak pra-sekolah.
Pengertian Anak Prasekolah
Sampai abad XVIII masih berkembang anggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk kecil, terutama di Eropa, dimana kondisi ekonomi di sana memungkinkan agar anak tidak terlalu lama tergantung kepada orangtua. Berdasarkan anggapan itu maka implikasinya, perlakuan dan harapan orangtua terhadap anak sama dengan perlakuan dan harapan terhadap orang dewasa. Hal ini terlihat misalnya dalam memberi perhatian, memenuhi kebutuhan pokok, atau menargetkan kepandaian yang sama dari anak kecil dan orang dewasa. Perlakuan dan harapan terhadap anak karena kesalahan mempersempit perkembangan anak, ini akan menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari pada perkembangan emosi, sosial, moral, kognisi anak tersebut.
Oleh karena itu, anak harus dipandang sebagai individu yang berbeda dengan orang dewasa. Anak bukan orang dewasa kecil karena anak memiliki kemampuan, kekuatan, pengalaman dan penghayatan yang berbeda dengan orang dewasa dalam memandang dunia. Anak memiliki dunia sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa.
Dari sisi pedagogis usia anak terbagi menjadi dua bagian, anak pra-sekolah usia 3 - 6 tahun dan akan sekolah 7 – 12 tahun (Biecher dan Snowman, 1993:8). Anak usia pra-sekolah umumnya mengikuti program penitipan anak (Day Care) usia 3 sampai 5 tahun, program kelompok bermain (Play Groups) usia 3 - 4 tahun, dan program Taman Kanak-kanak (Kindergarten).
Pada kaitan ini, seiring dengan kemajuan emansipasi perempuan, lembaga pendidikan anak pra-sekolah sehari penuh (fullfay) menjadi trend di kota besar. Menurut mereka, lembaga penitipan anak seperti ini jauh lebih beruntung daripada anak-anak diasuh oleh pembantu rumah tangga di rumah, selain karena semakin sulitnya mencari tenaga pembantu rumah tangga, juga anak-anak tidak memperoleh pendidikan dari para pembantu yang umumnya kurang melek terhadap pendidikan. Mereka rela membayar berapapun demi anak-anak mereka. Namun demikian, perlu dicermati, apakah anak-anak merasa cukup menikmati model pendidikan seperti ini, atau bahkan anak-anak merasa jenuh dan lelah. Apapun model pendidikan, seyogyanya bukan berdasarkan kepentingan orangtua secara sepihak.
Perkembangan anak Prasekolah
Perkembangan Fisik
Pada saat anak mencapai usia prasekolah (3-6 tahun) terdapat ciri yang jelas yang membedakan antara usia bayi dan usia anak pra-sekolah. Perbedaan ini dapat terlihat dalam penampilan, proporsi tubuh, berat dan tinggi badan maupun keterampilan yang mereka kuasai. Pada anak usia pra-sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan keterampilan. Semakin usia bertambah, perbandingan bagi tubuh anak akan berubah, sehingga anak memiliki keseimbangan di tungkai bagian bawah.
Gerakan sehat anak pra-sekolah lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti; menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai, mampu mengalahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki. Terbentuknya tingkah laku ini, memungkinkan anak merespon pelbagai situasi. Pertumbuhan gigi anak pra-sekolah mencapai 20 buah dimana gigi susu akan tanggal pada akhir usia pra-sekolah dan gigi susu akan tanggal pada akhir usia prasekolah dan gigi permanen tidak akan tumbuh sebelum anak berusia 6 tahun. Otot dan sistem tulang akan terus berkembang sejalan dengan usia mereka. Kepala dan otot anak pra-sekolah telah mencapai ukuran orang dewasa. Demikian pula jaringan saraf mereka berkembang mengikuti pertumbuhan ototnya. Anak pra-sekolah membutuhkan kondisi kondusif untuk berkembang sehingga motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi kognisi dan moral mereka akan berkembang dengan optimal.
Perkembangan Motorik.
Perkembangan motorik anak merupakan proses memperoleh keterampilan dan pola gerakan yang diperlukan untuk mengendalikan tubuh anak. Ada dua macam keterampilan motorik yaitu keterampilan koordinasi otot halus, dan keterampilan koordinasi oto kasar (Milles dan Browne, 1994:280). Keterampilan koordinasi otot halus biasanya dipergunakan dalam kegiatan motorik di dalam ruangan, sedangkan keterampilan koordinasi otot kasar dilaksanakan di luar ruangan karena mencakup kegiatan gerak seluruh tubuh atau sebagian besar tubuh. Dengan menggunakan bermacam-macam koordinasi kelompok otot tertentu, anak dapat belajar untuk merangkak, melempar atau meloncat. Koordinasi keseimbangan, ketangkasan, kelenturan, kekuatan kecepatan, dan ketahanan merupakan kegiatan motorik kasar. Sedangkan motorik halus merupakan kegiatan yang menggunakan otot halus pada kaki dan tangan. Gerakan ini memerlukan kecepatan, ketepatan, keterampilan menggerakkan, seperti menulis, menggambar, menggunting, melipat atau memainkan piano.
Seefell (Verna, 1986:144) menggolongkan keterampilan motorik menjadi tiga bagian sebagai berikut :
Keterampilan motorik sebagaimana tersebut di atas memerlukan latihan-latihan. Latihan untuk keterampilan motorik halus misalnya dengan kegiatan menggambar, melipat, menyusun, mengelompokkan, membentuk, melipat atau menggunting. Latihan untuk keterampilan motorik kasar dengan cara menangkap (bola), menendang, meloncat, melempar atau melompat.
Perkembangan Bahasa
Kemampuan anak dalam memahami bahasa orang lain masih terbatas. Anak pra-sekolah hanya memahami bahasa dari persepsi dirinya sendiri dan akselerasi perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis. Apabila fungsi simbolis telah berkembang, akan memperluas kemampuan memecahkan persoalan dengan belajar dari bahasa orang lain.
Menurut Witon & Mallon (1981:118), bahasa merupakan bentuk utama dalam mengekspresikan pikiran dan pengetahuan jika anak mengadakan hubungan dengan orang lain. Anak yang sedang tumbuh kembang mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran dan perasaan melalui bahasa dengan kata-kata yang mempunyai makna.
Berbahasa menghasilkan bunyi verbal. Kemampuan mendengar dan membuat bunyi verbal merupakan hal utama untuk menghasilkan bicara. Kemampuan bicara anak meningkat melalui pengucapan suku kata yang berbeda-beda yang diucapkan anak secara jelas. Kemampuan bicara ini akan lebih baik lagi bila anak memberi arti kata-kata baru, menggabungkan kata-kata baru, memberikan pernyataan atau pertanyaan. Semua ini merupakan penggabungan proses bicara, kreativitas dan berpikir.
Berfikir adalah awal berbahasa, dan berfikir lebih luas dari bahasa. Kendatipun demikian, berfikir tidak tergantung pada bahasa, meskipun bahasa dapat membantu perkembangan berfikir. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak terhadap objek-objek atau hubungan-hubungan dalam lingkungan, memperkenalkan mereka pada perbedaan cara pandang dan menanamkan informasi abstrak. Bahasa adalah salah satu alat dalam berfikir. Hal ini sebagaimana Wentsch (dalam Miller) menjelaskan, Although thching is not dependet on language, language can aid cognitive development. Language can direct children’s attention to new objects or relationship in the environment, introduce them to conflicting point of view, and impart abstract information that is not easily acquired directly. Language is one of mana tools in our cognitive toolkit (Patricia, 1993:53)
Menurut Vygostsky (Dworetzky, 1990:275) ada tiga tahap perkembangan bicara anak yang menentukan tingkat perkembangan berfikir dengan bahasa, yaitu tahap eksternal, egosentris dan internal. Tahap eksternal di mana sumber berfikir anak dalam berbahasa datang luar dirinya, misalnya saat ibunya mengajukan pertanyaan kepada anak, lalu anak berfikir untuk menjawabnya. Tahap egosentris di mana pembicaraan orang tidak lagi menjadi persyaratan awal terjadinya proses berfikir dan berbahasa. Tahap internal di mana anak menghayati sepenuhnya proses berfikir tanpa ada orang lain yang menuntutnya.
Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak akan berjalan seiring dengan pertambahan usia di mana anak mempunyai kebutuhan untuk bergaul dan berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, yang sebelumnya terbatas dalam tataran lingkungan keluarga. Untuk keperluan pergaulan ini anak membina hubungan dengan orang dewasa, membina hubungan dengan orang lain, membina hubungan dengan kelompok sebaya dan membina diri sebagai individu.
Pengenalan anak terhadap lingkungan di luar rumah akan membantu anak yang baru memasuki pendidikan pra-sekolah untuk lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan luar rumah memberi pengalaman kepada anak untuk mengenal aturan-aturan yang berbeda dengan lingkungan rumah, menemukan teman yang tidak memberi perhatian, mengalami sendiri bagaimana harus mengalah kepada orang lain, mengalami sendiri bagaimana harus mengikuti aturan-aturan sosial.
Pengalaman berinteraksi di luar rumah merupakan satu tahap membangun kemampuan menyesuaikan diri. Ketidak mampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, akan menyebabkan anak merasa terganggu mentalnya. Kondisi mental seperti ini sering terwujud dalam tindakan seperti mengompol, menangis, menjerit saat tidur, gelisah, selalu ingin ke belakang, tidak bergairah dan tidak senang berlama-lama berada dalam lingkungan luar rumah.
Menyadari akan pentingnya perkembangan sosial anak, maka perlu ada bimbingan dan latihan dari orangtua maupun guru untuk mencapai perkembangan sosial yang sehat. Perkembangan sosial yang sehat menurut Karen Horney (Mesta, 1999:25-29) terwujud dalam moving toward other, moving againts other dan moving away other secara fleksibel dan seimbang.
Perkembangan Kreativitas
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan gagasan baru yang asli dan imajinatif berdasarkan gagasan yang sudah ada. Menurut Gordon & Browne, apabila ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu anak untuk mengembangkan fleksibilitas dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil risiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Cara untuk mengembangkan fleksibilitas adalah dengan perlakuan guru yang tidak otoriter dan memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihan, memberi kepercayaan untuk melakukan pilihan, membangun hubungan yang penuh keterbukaan sehingga anak menyaksikan sendiri sesuatu yang boleh berbeda. Pada mulanya anak biasa tidak ingin terlihat berbeda dengan orang lain karena ia tidak berani mengambil resiko akibat perbedaan tersebut. Akan tetapi, apabila guru terus mendorong anak untuk menentukan pilihan yang berbeda dan memberi penghargaan atas perbedaan itu, maka secara berangsur-angsur akan menumbuhkan kreativitas pada anak.
Perkembangan Emosi anak
Emosi berfungsi untuk mengkomunikasikan kebutuhan, suasana hati dan perasaan. Melalui ekspresi perasaan, anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, seperti menghormati orang lain, memperoleh hubungan dan memelihara hubungan sosial yang harmonis, serta menenangkan perasaan. Jika perkembangan emosi anak itu baik, mereka akan belajar bagaimana menggunakan kedalaman perasaan dengan tidak mengekspresikan secara berlebihan dan dapat mengikuti perasaan orang lain sehingga menumbuhkan pengertian dan kerja sama dengan orang lain.
Masing-masing anak mengekspresikan emosi sesuai dengan suasana hati dan pengaruh lingkungan, terutama pengalaman kelekatan dengan pengasuh (caregiver) dan teman-temannya.
Oleh karena itu, anak pra-sekolah selayaknya memperoleh bimbingan yang memadai dari guru dan orang tua untuk mengenal dan menerima perasaannya agar mereka belajar menghargai perasaan orang lain. Dalam hal ini teknik orangtua mengasuh (child rearing) dan gaya orangtua mengasuh (parenting style) anak sangat mewarnai perkembangan emosi anak prasekolah.
Perkembangan Kognitif
Kognitif dapat berarti kecerdasan, berfikir dan mengamati, yaitu tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan. Dengan pengertian ini, maka anak yang mampu mengkoordinasikan pelbagai cara berfikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dengan merancang, mengingatkan dan mencari alternatif bentuk penyelesaian persoalan merupakan tolak ukur perkembangan kognitif.
Apabila mengamati cara berfikir dan tingkah laku anak usia ini, maka cara berfikir mereka termasuk semi logis, yaitu setengah masuk akal (pra-logis). Keadaan ini oleh Jean Piaget, seorang ahli psikologi kognitif sebagai tahap pra–operasional, yaitu suatu tahap di mana proses berfikir anak berpusat pada penguasaan simbol-simbol (misalnya, kata-kata) yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu.
Piaget (Patricia, 1993:5356) menjelaskan karakteristik utama anak prasekolah adalah egocentrism regidity of thought, semological reasoning dan limites social cognition. Egosentris pada anak prasekolah tidak berarti mereka mementingkan diri sendiri, tetapi karena mereka tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain, misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain tetapi di antara mereka tidak terjadi saling berinteraksi dalam topik pembicaraan. Mengenai karakteristik egosentris ini Piaget (dalam Miller) menjelaskan :
Centration dan egocentrism merefleksikan ketidak mampuan anak menghadapi beberapa segi dari suatu situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang biasa. Anak pra-sekolah dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan (focus states atau focus on apperance), bukan pada isi atau kenyataan di balik tampilan itu. Anak pra-sekolah berfikir hanya pada keadaan “sebelum” dan “sesudah”, tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah melihat tampilan suatu keadaan. Kekakuan berfikir ini karena mereka tidak dapat berfikir dari sisi kebalikannya (irreversible) dari suatu rangkaian kejadian atau perubahan bentuk. Piaget menjelaskan tentang centration dan egocentrism anak pra-sekolah sebagai berikut :
Limited Social Cognition yaitu keterbatasan berfikir dalam menangkap peristiwa sosial. Anak pra-sekolah berfikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik. Mereka belum dapat berfikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan keterbatasan anak pra–sekolah menangkap peristiwa sosial adalah saat anak mengatakan bahwa si A yang memechakn 1 lusin gelas ketika sedang membantu ibunya sangat bersalah, daripada si B yang memecahkan 1 buah gelas ketika sedang mencuri minuman ibunya.
Dengan perkembangan kognitif anak yang demikian, maka perkembangan moral anak pra-sekolah menurut Kohlberg berada pada pada pra-konvensional, yaitu suatu tahap yang mengawali untuk terbentuknya perilaku moral. Dengan demikian perkembangan kognitif sangat erat berkaitan dengan perkembangan moral.
Perkembangan Moral
Anak prasekolah menurut Piaget dalam perkembangan kognitif berada pada tahap pra-operational, sedangkan menurut Kohlberg dalam perkembangan moralnya berada pada tahap pra-convensional. Tahap ini mengindikasikasikan bahwa anak pra-sekolah belum memiliki kesadaran moral karena perkembangan berfikirnya masih sangat terbatas. Kalaulah anak usia ini melakukan aturan-aturan, hal tersebut bukan karena mereka faham bahwa aturan tersebut penting baginya, melainkan karena mereka ingin memperoleh pujian atau menghindari hukuman karena perbuatan tersebut. Moral anak pra-sekolah lebih mendasarkan diri pada prinsip meraih kesenangan (hedonism).
Anak pra-sekolah belum dapat menangkap ide yang mendasari mengapa aturan tersebut berlaku bagi dirinya. Semakin anak tersebut berkembang penalarannya, semakin terbukalah pemikirannya untuk menerima norma. Ini berarti terbentuknya moral seiring dengan berkembangnya pola berfikir mereka, karena penalaran moral seorang memacu timbulnya perbuatan moral (Knoers, 1994:305309).
Dengan mengenal perkembangan anak usia pra-sekolah baik dari segi fisik, motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi, kognisi dan moral, meskipun dengan paparan yang sangat terbatas dan singkat ini, kiranya dapat berguna untuk mengenal bagaimana pendidikan untuk anak pra-sekolah menurut tinjauan psikologis yang sesuai dengan perkembangan usia mereka.
Sejarah Perkembangan Pendidikan prasekolah
Pada tahun 1990 an merupakan awal sejarah berdiri pendidikan prasekolah dengan tokoh terkenal yaitu Frobel dan Montessori. Maria Montessori adalah seorang dokter dan antropologi perempuan yang pertama. Ia memiliki pemikiran-pemikiran dan metode-metode pendidikan yang sampai saat masih populer di seluruh dunia. Montessori menjadi sangat berminat terhadap pendidikan anak sejak ia bekerja untuk anak-anak terbelakang mental, dan ternyata Montessori dapat menerapkan metode untuk anak-anak terbelakang mental itu kepada anak-anak normal. Minat besar Montessori terwujud dengan mendirikan sekolah sebagaimana Soemiarti Patmonodewo mengemukakan.
Sekolah yang pertama didirikan Montessori di Roma pada tahun 1907 dan dalam waktu singkat sekolah semacam itu berkembang di seluruh dunia. Apabila Frobel terkenal dengan Kindergartenya, Montessori menyebut sekolahnya dengan Casa Dei Ambini Montessori seperti Frobel memandang perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Ia juga memahami bahwa pendidikan sebagai aktivitas diri, yang mengarah pada pembentukan disiplin pribadi dan kemandirian (Soemiarti, 2000:9-10).
Pendidikan anak model Montessori menurut Soemiarti Patmonodewo berlandaskan pada falsafah yaitu ingatan yang meresap (absorben mird), lingkungan yang disiapkan (the prepared environment), belajar mengorganisasi sendiri (auto education) dan memperhatikan masa peka anak (sensitive periode).
Absorben mind adalah prinsip yang penting dalam falsafah. Montessori. Ia percaya bahwa bayi telah mampu mengabsorsi stimulus lingkungan secara tidak sadar. Semakin usia bertambah, anak semakin menyadari ingatan yang kemudian mengorganisasikan dan menggeneralisasikan terhadap stimulus lingkungan. Contohnya anak mengenal ibunya meskipun ibu mengenakan pakaian yang berbeda. Atas dasar ini, maka seseorang ketika dewasa dapat mengingat dan menceriterakan peristiwa masa pra-sekolah karena usia tersebut dianggap masa mulai timbul kesadaran dan mulai dapat mengingat peristiwa. Semakin usia bertambah, semakin, sempurna pula daya mengingat peristiwa-peristiwa masa lalu.
Prepare environment adalah mempersiapkan lingkungan pembelajaran misalnya dengan penataan warna dan sarana yang memadai yang menumbuh kembangkan kreativitas anak. Menurut Montessori anak harus dapat mengenal kekayaan lingkungan. Dengan prinsip ini, misalnya jika anak hanya mengenal alat-alat permainan yang terbuat dari kaleng atau plastik yang tidak pecah, perbuatan itu sangat merugikan jiwa anak, sebab bukankah anak tersebut dapat memperlakukan cangkir kaleng atau plastik itu sekasar-kasarnya tanpa menyadari bahwa perbuatan tersebut kasar. Itulah sebabnya pendidikan model Montessori memerlukan biaya mahal yang biasa diselenggarakan oleh lembaga swasta di perkotaan.
Sensitive period adalah masa dalam perkembangan anak, di mana suatu konsep/pengertian tertentu lebih mudah dipelajari oleh anak karena mereka telah memiliki kesiapan (readness). Setiap anak berkembang pada masa yang berbeda. Falsafah dari Montesseri ini penting untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra-sekolah, sebab keberhasilan anak dalam pendidikan tergantung pada saat dimana seorang anak mengalami masa peka dan siap untuk menerima pelbagai penguasaan sebagai harapan orangtua terhadap anak-anak usia dini.
Jadi harapan orangtua terhadap pendidikan anak-anak harus menyesuaikan dengan masa kematangan dan kesiapan mereka, bukan malah hanya memenuhi kebanggaan orang tua dengan cara memaksakan harapan orangtua. Akibat harapan orangtua yang terlampau tinggi untuk anak seusia pra-sekolah, maka anak mungkin akan merasa terbebani oleh harapan orangtua yang terlampau idealis, padahal anak belum cukup umur dan belum siap untuk memenuhi harapan orangtuanya.
Di Indonesia kehadiran pendidikan pra-sekolah terkait dengan sejarah Belanda ketika menjajah negeri ini sebagaimana Patmonodewo mengemukakan:
Usaha pendidikan anak pra-sekolah di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1904 pada saat Pemerintah Hindia Belanda membuka kelas persiapan (Voorklas) yang fungsinya menyiapkan anak-anak memasuki HLS (bentuk sekolah rendah di Indonesia pada zaman Belanda). Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh gerakan di lingkungan Perguruan Taman siswa, mendirikan Taman Indria, yaitu suatu sarana pendidikan untuk anak pra-sekolah. Bersamaan dengan berdiri Taman Indria, berdiri pula Taman Kanak-kanak dengan nama Bustanul Athfal atau Raudhatul Athfal yang disponsori oleh organisasi-organisasi Islam.
Pada tahun 1950 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai ikut mengelola keberadaan pendidikan pra-sekolah dan mulai mengakui bahwa pendidikan pra-sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 4 tahun 1950 .tentang Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, juncto No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan di sekolah berikut ini:
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar di sekolah-sekolah Republik Indonesia. Di TK dan tiga kelas yang terendah di sekolah dasar, bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar (pasal 5).
Menurut jenisnya, maka pendidikan dan pengajaran dibagi atas: Pendidikan dan Pengajaran TK, Pendidikan dan Pengajaran Rendah, Pendidikan dan Pengajaran Menengah, Pendidikan dan Pengajaran Tinggi serta Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa yang diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6).
Pendidikan dan Pengajaran TK bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani anak-anak sebelum ia masuk sekolah rendah (pasal 7). Pada tahun 1964 pemerintah mulai menyusun kurikulum TK yang sebelumnya hanya merupakan sebuah Pedoman Bermain seiring dengan berdirinya Sekolah Guru TK (SGTK). Cikal bakal ini berkelanjutan, di mana pemerintah berupaya terus untuk menyempurnakan kurikulum TK tahun 1968, kurikulum TK tahun 1976, kurikulum TK tahun 1984, dan kurikulum TK tahun 1994.
Dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (2) menyebutkan: pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan adalah untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.
Peraturan Pemerintah No, 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah pada Bab I, Pasal 1, ayat (2) menyatakan:
Yang dimaksud dengan Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan pra-sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun menjelang memasuki pendidikan dasar.
Satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-Kanak, kelompok bermain dan Penitipan Anak. Taman Kanak-Kanak terdapat di jalur pendidikan sekolah, sedangkan kelompok Bermain dan Penitipan anak terdapat di jalur pendidikan luar sekolah.
Dalam kurikulum TK tahun 1994 menjelaskan bahwa pembinaan segi pendidikan anak pada Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan usaha kesejahteraan anak bagi Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Sosial. Lamanya pendidikan di TK adalah satu atau dua tahun sesuai dengan usia anak. Jika suatu TK memilih program satu tahun, TK tersebut dapat menyelenggarakan kelompok A (usia 4 - 5 tahun) atau kelompok E (usia 5-6 tahun). Jika memilih program dua tahun, maka TK tersebut menyelenggarakan Program A dan B, masing-masing lamanya satu tahun.
Pelaksanaan pendidikan TK yang tercantum dalam kurikulum TK tahun 1994 mencantumkan antara lain :
Dengan peraturan pemerintah, perundang-undangan yang berlaku maupun kurikulum yang secara terus menerus disempurnakan, berarti pemerintah menaruh disempurnakan, berarti pemerintah menaruh kepedulian yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra-sekolah dan kiranya setiap lembaga atau pihak yang terkait dan berminat menyelenggarakan pendidikan untuk anak pra-sekolah ini seyogyanya mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tentunya telah memperhatikan pemikiran dan temuan-temuan para pakar dibidang ini.
Dalam kenyataan di lapangan masih banyak TK yang berlomba menawarkan program yang menggiurkan orangtua dengan program yang belum tentu sesuai dengan perkembangan anak, bahkan hanya memenuhi kebanggaan orangtua saja. Misalnya TK yang menjanjikan anak-anak didiknya setelah lulus dari pendidikan akan pandai menulis, membaca, berbahasa asing dan pelbagai penguasaan lain yang umumnya menjadi trend zaman seperti bermain komputer, bermain piano, terampil matematik dengan metode kumon, pandai membaca al-qur’an dengan metode iqra dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pada bagian berikutnya makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana kepandaian baca tulis pada anak usia pra-sekolah menurut tinjauan psikologi.
Kepandaian Baca Tulis Anak Prasekolah
Meskipun berfikir anak pada usia ini sudah berada pada tarah pra-operasional di mana anak sudah menguasai simbol-simbol (sign) yang tertangkap melalui bahasa verbal atau kata-kata, tetapi mereka belum dapat belajar berfikir secara kebalikannya dari perspektif orang lain. Itulah yang mengantarkan Piaget pada suatu kesimpulan bahwa masa anak pra-sekolah sebagai persiapan untuk tahapan berikutnya, this period as a time of preparation for the next stage.
Sebagai periode persiapan, maka pelbagai macam kegiatan dan bahan pelajaran dalam pendidikan prasekolah sifatnya terbatas pada aspek pengenalan dan persiapan, bukan pada hasil yang ditargetkan. Orang tua atau sekolah yang terlampau mengharapkan dan mentargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, berhitung, menggambar dengan bagus dengan pengawasan yang sangat ketat, akan membuat anak frustrasi dan hilang semangat untuk belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orangtua yang kemudian orang tua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orangtua tersebut belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anak-anak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat.
Menyadari akan bahaya psikologis pada anak-anak pra-sekolah, maka kurikulum TK 1994 telah berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan anak pra-sekolah sebagaimana prinsip-prinsip psikologi perkembangan, terutama mengikuti frame teori Piaget. Dalam kaitan ini kurikulum TK 1994 menyatakan:
Taman Kanak-Kanak bukan sekolah. TK merupakan tempat bermain sambil belajar, sedangkan Sekolah Dasar merupakan tempat belajar. Di TK tidak diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung/matematika seperti di SD, yang diberikan di TK adalah usaha atau kegiatan persiapan membaca dan menulis serta permulaan berhitung/matematika. Dalam kegiatan ini di TK dibatasi pada usaha meletakkan dasar-dasar kesanggupan membaca, menulis dan berhitung/matematika. Setelah anak mengikuti program pendidikan TK, anak diharapkan telah memiliki kesanggupan-kesanggupan dan pengetahuan tertentu yang memungkinkan ia dapat mengikuti pelajaran permulaan membaca, menulis dan berhitung/matematika tanpa banyak kesulitan. Kegiatan-kegiatan di atas harus dilakukan dengan menyenangkan, misalnya melalui bernyanyi, bermain, mengucapkan syair, pengenalan menulis dan berhitung sambil melihat-lihat gambar yang sesuai dengan minat anak.
Menurut Vygotsky (Dworetzky, 1990:27), manusia lahir dengan seperangkat fungsi kognitif kasar yaitu kemampuan untuk memperhatikan, mengamati dan mengingat. Dengan kemampuan dasar itu lingkungan tinggal mentransformasi alam bentuk interaksi atau pengajaran dengan menggunakan bahasa.
Pendapat vygotsky tersebut di atas meskipun memberi peluang optimis untuk pendidikan anak pra-sekolah, namun ia tidak menjelaskan lebih rinci kapan idealnya anak menerima pengajaran baca tulis dengan seperangkat kemampuan kognitif kasar yang diperoleh sejak lahir itu. Oleh karena itu hanya dengan mengandalkan pendapat Vygotsky kiranya sangat lemah untuk melegalisasi kepandaian baca tulis pada pendidikan anak pra-sekolah.
Akan tetapi Montessori (Soemiarti, 2000:10) percaya bahwa sebaiknya membaca diajarkan pada anak sejak dini dan periode yang tepat adalah pada usia 2 – 6 tahun, karena masa tersebut dianggap sebagai masa sensitif (sensitive peroid) untuk belajar membaca. Meskipun demikian, Montessori berperan, “pendidikan seharusnya tidak dibebankan kepada anak. Dengan lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan anak bereaksi secara bebas dan mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis pikirannya sendiri. Maka harus ada kebebasan dalam lingkungan yang telah dipersiapkan (prepared environment) tersebut untuk pengembangan fisik, mental, dan perkembangan spiritualnya. Kemungkinan mengajarkan membaca untuk anak usia dini juga perlu ditunjang oleh metode yang sesuai dengan perkembangan mereka sebagaimana pendapat Sumadi Suryabroto (1994:153), bahwa sebetulnya sangat mungkin anak umur 3 - 4 tahun diajarkan membaca, asal dipakai cara-cara yang tepat serta kriteria dan didaktiknya disesuaikan.
Memperhatikan pendapat-pendapat yang berbeda seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa boleh tidaknya pengajaran membaca untuk anak prasekolah seyogianya dengan memperhatikan kesiapan (readness) anak itu sendiri, yang tidak selalu harus seiring dengan usia kalender (cronological ages), akan tetapi lebih terkait dengan usia mental (mental ages). Artinya, anak sudah mencapai kesiapan untuk membaca bukan karena usia mereka sekian tahun, tetapi apakah secara mental anak terlihat siap untuk menerima pengajaran membaca.
Dengan demikian, boleh jadi anak secara usia kalender belum saatnya menerima pengajaran membaca, akan tetapi secara mental mereka memiliki semangat dan mudah menerima pengajaran membaca. Maka dalam hal kesiapan ini cenderung bersifat individual, sehingga institusi sekolah tidak boleh menerapkan pengajaran membaca secara klasikal sama rata untuk anak didik di TK.
Di samping perlu memperhatikan kesiapan anak, faktor kecerdasan anak juga sangat menentukan terhadap efektivitas pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah, sebab pada anak-anak yang sangat cerdas dalam usia yang sangat muda seringkali mereka "secara main-main" sudah belajar membaca sebelum mereka masuk sekolah. Kasus semacam ini agaknya yang terjadi pada para sahabat Nabi, di mana pada usia yang sangat muda mereka sudah dapat menghafal sekian ayat Al-Qur’an atau sekian jumlah hadits, karena lingkungan saat itu sangat menunjang, sehingga anak-anak dengan usia yang sangat belia mungkin dengan cara tidak sengaja mereka sudah terbiasa belajar baca tulis.
Dengan memperhatikan rambu-rambu kesiapan dan kecerdasan anak-anak, maka metode pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah patut menyesuaikan dengan potensi anak yang secara individual tentu berbeda. Dalam perspektif inilah pengajaran membaca dapat diselenggarakan pada pendidikan anak pra-sekolah bukan untuk memenuhi kebanggaan orang tua atau institusi, tetapi karena sesuai kemampuan dan kebutuhan anak
Berdasarkan tinjauan psikologis, kiranya kurikulum TK patut menjadi acuan pendidikan pra-sekolah secara klasikal, karena bimbingan khusus untuk anak-anak yang tergolong cerdas tidak dapat dilakukan secara klasikal, tetapi lebih bersifat individual, dengan tetap memperhatikan aspek bermain. Untuk itu, pendidikan pra-sekolah harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Bermain mempunyai makna penting bagi perkembangan anak pra-sekolah. Frank dan Teresa Caplan (Moeslihatoen, 1999:25) menjelaskan ada enam belas (16) makna bermain pertumbuhan anak yaitu :
(1) Bermain membantu pertumbuhan anak
(2) Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela
(3) Bermain memberi kebebasan anak untuk bertindak
(4) Bermain memberikan dunia khayal yang dapat dikuasai
(5) Bermain meletakkan dasar pengembangan bahasa
(6) Bermain mempunyai pengaruh yang unik dalam pembentukan hubungan antara pribadi
(7) Bermain memberi kesempatan anak untuk menguasai diri secara fisik
(8) Bermain memperluas minat dan pemusatan perhatian
(9) Bermain mempunyai unsur berpetualang di dalamnya
(10) Bermain merupakan cara untuk menyelidiki sesuatu
(11) Bermain merupakan cara untuk mempelajari peran orang dewasa
(12) Bermain merupakan cara dinamis untuk belajar
(13) Bermain menjernihkan pertimbangan anak
(14) Bermain dapat di struktur secara akademis
(15) Bermain merupakan kekuatan hidup
(16) Bermain merupakan sesuatu yang esensial bagi kelestarian hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
BM dan Newman, PR. Infancy and Childhood. New York : Jauh Wiley & Sons 1978
Biechler, RF & Snowman, J. Psychology Applied Teaching. Toronto: Houghton Mifflin Company 1993
Dworetzky, Jauh F. Introduction to Child Development. New York : West Publishing Company 1990
Gordon, Ann Milles and Katheryn Williams Browne. Beginning and Beyond : Foundations in Early Chilhood Education. New York : Delmar Publisher 1985
Hildebrand, Verna. Introduction to Early Childhood Education. New York : McMilan Publishing Company 1986
Miller, Patricia H. Theories of Developmental Psychology. New York. WH. Freeman and Company 1993.
Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : UGM Press. 1994.
Moeslihatoen R. Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta. Rinkea Cipta. 1999.
Noor, Mahpuddin, Ciptakan Suasana Religius di Lingkungan Keluarga, Media Pembinaan, Edisi Bulan Juni 2006.
Limbong, Mesta P. Kesehatan Mental Khususnya Mereka yang baru Memasuki Pendidikan Prasekolah ditinjau dari Teori Interpersonal Karen Horney, Jurnal) Dinamika Pendidikan. Jakarta UKI. 1999.
Patmonodewa Soemiarti. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta 2000.
Suryobroto, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Rake Sarasin 1994.
Team. Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Pendidikan TK. Jakarta. Depdikbud 1994
Weton, David & Mallan, Jauh, T. Children and Their Word Strategis for Teaching Social Studies. New Jersey : Houghton Mifflin Company Boston. 1982.
Promo menjual jas koko bordir | Baju Koko Gaul.
Memanfaatkan momen “memberi yang terbaik” untuk anak-anak, banyak media bermunculan yang bertemakan pendidikan anak, seperti majalah Bobo, si Kancil, Anakku, Anak Shalel, ayah Bunda, juga sering ada program yang menawarkan seminar, ceramah, diskusi atau kursus bagaimana mendidik anak yang efektif melalui media cetak maupun elektronik. Demikian pula perusahaan permainan anak-anak ikut berlomba menawarkan produknya karena memahami bahwa orang tua tidak akan menolak permintaan anak, meskipun kadang-kadang alat-alat permainan tersebut kurang mempunyai nilai edukatif.
Dari sekian banyak tawaran tersebut agaknya cukup menyadarkan para orangtua, terutama pasangan muda di kota, akan pentingnya arti stimulasi dan perhatian orang tua terhadap anak usia dini, sehingga tidak sedikit mereka harus menghabiskan uang, tenaga, dan pikiran demi kualitas anak-anak mereka. Tuliskan singkat yang berbentuk makalah ini bermaksud untuk meninjau secara psikologis mengenai pendidikan anak pra-sekolah.
Pengertian Anak Prasekolah
Sampai abad XVIII masih berkembang anggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk kecil, terutama di Eropa, dimana kondisi ekonomi di sana memungkinkan agar anak tidak terlalu lama tergantung kepada orangtua. Berdasarkan anggapan itu maka implikasinya, perlakuan dan harapan orangtua terhadap anak sama dengan perlakuan dan harapan terhadap orang dewasa. Hal ini terlihat misalnya dalam memberi perhatian, memenuhi kebutuhan pokok, atau menargetkan kepandaian yang sama dari anak kecil dan orang dewasa. Perlakuan dan harapan terhadap anak karena kesalahan mempersempit perkembangan anak, ini akan menimbulkan masalah psikologis di kemudian hari pada perkembangan emosi, sosial, moral, kognisi anak tersebut.
Oleh karena itu, anak harus dipandang sebagai individu yang berbeda dengan orang dewasa. Anak bukan orang dewasa kecil karena anak memiliki kemampuan, kekuatan, pengalaman dan penghayatan yang berbeda dengan orang dewasa dalam memandang dunia. Anak memiliki dunia sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa.
Dari sisi pedagogis usia anak terbagi menjadi dua bagian, anak pra-sekolah usia 3 - 6 tahun dan akan sekolah 7 – 12 tahun (Biecher dan Snowman, 1993:8). Anak usia pra-sekolah umumnya mengikuti program penitipan anak (Day Care) usia 3 sampai 5 tahun, program kelompok bermain (Play Groups) usia 3 - 4 tahun, dan program Taman Kanak-kanak (Kindergarten).
Pada kaitan ini, seiring dengan kemajuan emansipasi perempuan, lembaga pendidikan anak pra-sekolah sehari penuh (fullfay) menjadi trend di kota besar. Menurut mereka, lembaga penitipan anak seperti ini jauh lebih beruntung daripada anak-anak diasuh oleh pembantu rumah tangga di rumah, selain karena semakin sulitnya mencari tenaga pembantu rumah tangga, juga anak-anak tidak memperoleh pendidikan dari para pembantu yang umumnya kurang melek terhadap pendidikan. Mereka rela membayar berapapun demi anak-anak mereka. Namun demikian, perlu dicermati, apakah anak-anak merasa cukup menikmati model pendidikan seperti ini, atau bahkan anak-anak merasa jenuh dan lelah. Apapun model pendidikan, seyogyanya bukan berdasarkan kepentingan orangtua secara sepihak.
Perkembangan anak Prasekolah
Perkembangan Fisik
Pada saat anak mencapai usia prasekolah (3-6 tahun) terdapat ciri yang jelas yang membedakan antara usia bayi dan usia anak pra-sekolah. Perbedaan ini dapat terlihat dalam penampilan, proporsi tubuh, berat dan tinggi badan maupun keterampilan yang mereka kuasai. Pada anak usia pra-sekolah telah tampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan keterampilan. Semakin usia bertambah, perbandingan bagi tubuh anak akan berubah, sehingga anak memiliki keseimbangan di tungkai bagian bawah.
Gerakan sehat anak pra-sekolah lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti; menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai, mampu mengalahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki. Terbentuknya tingkah laku ini, memungkinkan anak merespon pelbagai situasi. Pertumbuhan gigi anak pra-sekolah mencapai 20 buah dimana gigi susu akan tanggal pada akhir usia pra-sekolah dan gigi susu akan tanggal pada akhir usia prasekolah dan gigi permanen tidak akan tumbuh sebelum anak berusia 6 tahun. Otot dan sistem tulang akan terus berkembang sejalan dengan usia mereka. Kepala dan otot anak pra-sekolah telah mencapai ukuran orang dewasa. Demikian pula jaringan saraf mereka berkembang mengikuti pertumbuhan ototnya. Anak pra-sekolah membutuhkan kondisi kondusif untuk berkembang sehingga motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi kognisi dan moral mereka akan berkembang dengan optimal.
Perkembangan Motorik.
Perkembangan motorik anak merupakan proses memperoleh keterampilan dan pola gerakan yang diperlukan untuk mengendalikan tubuh anak. Ada dua macam keterampilan motorik yaitu keterampilan koordinasi otot halus, dan keterampilan koordinasi oto kasar (Milles dan Browne, 1994:280). Keterampilan koordinasi otot halus biasanya dipergunakan dalam kegiatan motorik di dalam ruangan, sedangkan keterampilan koordinasi otot kasar dilaksanakan di luar ruangan karena mencakup kegiatan gerak seluruh tubuh atau sebagian besar tubuh. Dengan menggunakan bermacam-macam koordinasi kelompok otot tertentu, anak dapat belajar untuk merangkak, melempar atau meloncat. Koordinasi keseimbangan, ketangkasan, kelenturan, kekuatan kecepatan, dan ketahanan merupakan kegiatan motorik kasar. Sedangkan motorik halus merupakan kegiatan yang menggunakan otot halus pada kaki dan tangan. Gerakan ini memerlukan kecepatan, ketepatan, keterampilan menggerakkan, seperti menulis, menggambar, menggunting, melipat atau memainkan piano.
Seefell (Verna, 1986:144) menggolongkan keterampilan motorik menjadi tiga bagian sebagai berikut :
- (1) Keterampilan Lokomotorik, terdiri atas : keterampilan berjalan, berlari, melompat, berderap, meluncur, berguling-guling, berhenti, mulai berjalan, menjatuhkan diri dan mengelak.
- (2) Keterampilan Non Lokomotorik, yaitu menggerakkan bagian tubuh dengan posisi diam di tempat seperti : berayun, merentang, berbelok, mengangkat, bergoyang, melengkung, memeluk, menarik, dan memutar.
- (3) Keterampilan memproyeksi dan menerima, menggerakkan dan menangkap benda seperti : menangkap, menarik, menggiring, melempar, menendang, memukul, dan melambung.
Keterampilan motorik sebagaimana tersebut di atas memerlukan latihan-latihan. Latihan untuk keterampilan motorik halus misalnya dengan kegiatan menggambar, melipat, menyusun, mengelompokkan, membentuk, melipat atau menggunting. Latihan untuk keterampilan motorik kasar dengan cara menangkap (bola), menendang, meloncat, melempar atau melompat.
Perkembangan Bahasa
Kemampuan anak dalam memahami bahasa orang lain masih terbatas. Anak pra-sekolah hanya memahami bahasa dari persepsi dirinya sendiri dan akselerasi perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis. Apabila fungsi simbolis telah berkembang, akan memperluas kemampuan memecahkan persoalan dengan belajar dari bahasa orang lain.
Menurut Witon & Mallon (1981:118), bahasa merupakan bentuk utama dalam mengekspresikan pikiran dan pengetahuan jika anak mengadakan hubungan dengan orang lain. Anak yang sedang tumbuh kembang mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran dan perasaan melalui bahasa dengan kata-kata yang mempunyai makna.
Berbahasa menghasilkan bunyi verbal. Kemampuan mendengar dan membuat bunyi verbal merupakan hal utama untuk menghasilkan bicara. Kemampuan bicara anak meningkat melalui pengucapan suku kata yang berbeda-beda yang diucapkan anak secara jelas. Kemampuan bicara ini akan lebih baik lagi bila anak memberi arti kata-kata baru, menggabungkan kata-kata baru, memberikan pernyataan atau pertanyaan. Semua ini merupakan penggabungan proses bicara, kreativitas dan berpikir.
Berfikir adalah awal berbahasa, dan berfikir lebih luas dari bahasa. Kendatipun demikian, berfikir tidak tergantung pada bahasa, meskipun bahasa dapat membantu perkembangan berfikir. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak terhadap objek-objek atau hubungan-hubungan dalam lingkungan, memperkenalkan mereka pada perbedaan cara pandang dan menanamkan informasi abstrak. Bahasa adalah salah satu alat dalam berfikir. Hal ini sebagaimana Wentsch (dalam Miller) menjelaskan, Although thching is not dependet on language, language can aid cognitive development. Language can direct children’s attention to new objects or relationship in the environment, introduce them to conflicting point of view, and impart abstract information that is not easily acquired directly. Language is one of mana tools in our cognitive toolkit (Patricia, 1993:53)
Menurut Vygostsky (Dworetzky, 1990:275) ada tiga tahap perkembangan bicara anak yang menentukan tingkat perkembangan berfikir dengan bahasa, yaitu tahap eksternal, egosentris dan internal. Tahap eksternal di mana sumber berfikir anak dalam berbahasa datang luar dirinya, misalnya saat ibunya mengajukan pertanyaan kepada anak, lalu anak berfikir untuk menjawabnya. Tahap egosentris di mana pembicaraan orang tidak lagi menjadi persyaratan awal terjadinya proses berfikir dan berbahasa. Tahap internal di mana anak menghayati sepenuhnya proses berfikir tanpa ada orang lain yang menuntutnya.
Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak akan berjalan seiring dengan pertambahan usia di mana anak mempunyai kebutuhan untuk bergaul dan berinteraksi dengan dunia yang lebih luas, yang sebelumnya terbatas dalam tataran lingkungan keluarga. Untuk keperluan pergaulan ini anak membina hubungan dengan orang dewasa, membina hubungan dengan orang lain, membina hubungan dengan kelompok sebaya dan membina diri sebagai individu.
Pengenalan anak terhadap lingkungan di luar rumah akan membantu anak yang baru memasuki pendidikan pra-sekolah untuk lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan luar rumah memberi pengalaman kepada anak untuk mengenal aturan-aturan yang berbeda dengan lingkungan rumah, menemukan teman yang tidak memberi perhatian, mengalami sendiri bagaimana harus mengalah kepada orang lain, mengalami sendiri bagaimana harus mengikuti aturan-aturan sosial.
Pengalaman berinteraksi di luar rumah merupakan satu tahap membangun kemampuan menyesuaikan diri. Ketidak mampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, akan menyebabkan anak merasa terganggu mentalnya. Kondisi mental seperti ini sering terwujud dalam tindakan seperti mengompol, menangis, menjerit saat tidur, gelisah, selalu ingin ke belakang, tidak bergairah dan tidak senang berlama-lama berada dalam lingkungan luar rumah.
Menyadari akan pentingnya perkembangan sosial anak, maka perlu ada bimbingan dan latihan dari orangtua maupun guru untuk mencapai perkembangan sosial yang sehat. Perkembangan sosial yang sehat menurut Karen Horney (Mesta, 1999:25-29) terwujud dalam moving toward other, moving againts other dan moving away other secara fleksibel dan seimbang.
Perkembangan Kreativitas
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan gagasan baru yang asli dan imajinatif berdasarkan gagasan yang sudah ada. Menurut Gordon & Browne, apabila ingin mengembangkan kreativitas anak, guru harus membantu anak untuk mengembangkan fleksibilitas dan menggunakan imajinasi, kesediaan untuk mengambil risiko, menggunakan diri sendiri sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Cara untuk mengembangkan fleksibilitas adalah dengan perlakuan guru yang tidak otoriter dan memberi kesempatan kepada anak untuk menentukan pilihan, memberi kepercayaan untuk melakukan pilihan, membangun hubungan yang penuh keterbukaan sehingga anak menyaksikan sendiri sesuatu yang boleh berbeda. Pada mulanya anak biasa tidak ingin terlihat berbeda dengan orang lain karena ia tidak berani mengambil resiko akibat perbedaan tersebut. Akan tetapi, apabila guru terus mendorong anak untuk menentukan pilihan yang berbeda dan memberi penghargaan atas perbedaan itu, maka secara berangsur-angsur akan menumbuhkan kreativitas pada anak.
Perkembangan Emosi anak
Emosi berfungsi untuk mengkomunikasikan kebutuhan, suasana hati dan perasaan. Melalui ekspresi perasaan, anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, seperti menghormati orang lain, memperoleh hubungan dan memelihara hubungan sosial yang harmonis, serta menenangkan perasaan. Jika perkembangan emosi anak itu baik, mereka akan belajar bagaimana menggunakan kedalaman perasaan dengan tidak mengekspresikan secara berlebihan dan dapat mengikuti perasaan orang lain sehingga menumbuhkan pengertian dan kerja sama dengan orang lain.
Masing-masing anak mengekspresikan emosi sesuai dengan suasana hati dan pengaruh lingkungan, terutama pengalaman kelekatan dengan pengasuh (caregiver) dan teman-temannya.
Oleh karena itu, anak pra-sekolah selayaknya memperoleh bimbingan yang memadai dari guru dan orang tua untuk mengenal dan menerima perasaannya agar mereka belajar menghargai perasaan orang lain. Dalam hal ini teknik orangtua mengasuh (child rearing) dan gaya orangtua mengasuh (parenting style) anak sangat mewarnai perkembangan emosi anak prasekolah.
Perkembangan Kognitif
Kognitif dapat berarti kecerdasan, berfikir dan mengamati, yaitu tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan. Dengan pengertian ini, maka anak yang mampu mengkoordinasikan pelbagai cara berfikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dengan merancang, mengingatkan dan mencari alternatif bentuk penyelesaian persoalan merupakan tolak ukur perkembangan kognitif.
Apabila mengamati cara berfikir dan tingkah laku anak usia ini, maka cara berfikir mereka termasuk semi logis, yaitu setengah masuk akal (pra-logis). Keadaan ini oleh Jean Piaget, seorang ahli psikologi kognitif sebagai tahap pra–operasional, yaitu suatu tahap di mana proses berfikir anak berpusat pada penguasaan simbol-simbol (misalnya, kata-kata) yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu.
Piaget (Patricia, 1993:5356) menjelaskan karakteristik utama anak prasekolah adalah egocentrism regidity of thought, semological reasoning dan limites social cognition. Egosentris pada anak prasekolah tidak berarti mereka mementingkan diri sendiri, tetapi karena mereka tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain, misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain tetapi di antara mereka tidak terjadi saling berinteraksi dalam topik pembicaraan. Mengenai karakteristik egosentris ini Piaget (dalam Miller) menjelaskan :
Egocentrism does not refer selfisness or arrogance, and Piaget does not usai it. In a derogatory wah. Tather, the term refers to (a) the incomplete differentiation of the self and the word, including other people, and (b) the tendecy to perceive, understand, and interpret the word in terms of the self. One impications is that the cuil cannot take another person’s perceptual or conceptual persektive.Karakteristik kedua, regidity of thought yaitu kelakuan berfikir, yakni kecenderungan berfikir hanya pada satu pandangan dan mengabaikan pandangan yang lain (centration), misalnya ketika melihat air di gelas yang tinggi dan gelas yang pendek lebar, meskipun isi air di kedua gelas itu sama, anak tetap akan mengatakan bahwa air di gelas tinggi lebih banyak, karena anak hanya memandang dari satu sisi, yaitu ketinggian gelas dan mengabaikan pada isi yang terkadang dalam kedua gelas yang berbeda tersebut.
Centration dan egocentrism merefleksikan ketidak mampuan anak menghadapi beberapa segi dari suatu situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang biasa. Anak pra-sekolah dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan (focus states atau focus on apperance), bukan pada isi atau kenyataan di balik tampilan itu. Anak pra-sekolah berfikir hanya pada keadaan “sebelum” dan “sesudah”, tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah melihat tampilan suatu keadaan. Kekakuan berfikir ini karena mereka tidak dapat berfikir dari sisi kebalikannya (irreversible) dari suatu rangkaian kejadian atau perubahan bentuk. Piaget menjelaskan tentang centration dan egocentrism anak pra-sekolah sebagai berikut :
Centration and egocentrism are similar in that they both reflect an inability to deal with several aspect of a situation at the same time and that they both cause a biased view of the world. We also find a regidity, or lack of flexibility, or thought tn the tendecy to focus on states rather than on the transformation linking the states, the child thinks about the “before” and “after” states but ignores the process of changing from A to A, children focus on appearence rather tham reality. Interest in the appearance reality distinction made a “comeback”, within the recent study of children’s concept about the mind. Perhaps the clearest example of the regidity of thought is its lack of reversibility.Semilogical reasoning merupakan cara berfikir anak pra-sekolah yang masih egosentris dan kaku dalam menjelaskan kejadian-kejadian alamiah sehari-hari dengan jalan melakukan personifikasi, misalnya bulan mempunyai kaki karena dapat berjalan mengikutinya.
Limited Social Cognition yaitu keterbatasan berfikir dalam menangkap peristiwa sosial. Anak pra-sekolah berfikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik. Mereka belum dapat berfikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan keterbatasan anak pra–sekolah menangkap peristiwa sosial adalah saat anak mengatakan bahwa si A yang memechakn 1 lusin gelas ketika sedang membantu ibunya sangat bersalah, daripada si B yang memecahkan 1 buah gelas ketika sedang mencuri minuman ibunya.
Dengan perkembangan kognitif anak yang demikian, maka perkembangan moral anak pra-sekolah menurut Kohlberg berada pada pada pra-konvensional, yaitu suatu tahap yang mengawali untuk terbentuknya perilaku moral. Dengan demikian perkembangan kognitif sangat erat berkaitan dengan perkembangan moral.
Perkembangan Moral
Anak prasekolah menurut Piaget dalam perkembangan kognitif berada pada tahap pra-operational, sedangkan menurut Kohlberg dalam perkembangan moralnya berada pada tahap pra-convensional. Tahap ini mengindikasikasikan bahwa anak pra-sekolah belum memiliki kesadaran moral karena perkembangan berfikirnya masih sangat terbatas. Kalaulah anak usia ini melakukan aturan-aturan, hal tersebut bukan karena mereka faham bahwa aturan tersebut penting baginya, melainkan karena mereka ingin memperoleh pujian atau menghindari hukuman karena perbuatan tersebut. Moral anak pra-sekolah lebih mendasarkan diri pada prinsip meraih kesenangan (hedonism).
Anak pra-sekolah belum dapat menangkap ide yang mendasari mengapa aturan tersebut berlaku bagi dirinya. Semakin anak tersebut berkembang penalarannya, semakin terbukalah pemikirannya untuk menerima norma. Ini berarti terbentuknya moral seiring dengan berkembangnya pola berfikir mereka, karena penalaran moral seorang memacu timbulnya perbuatan moral (Knoers, 1994:305309).
Dengan mengenal perkembangan anak usia pra-sekolah baik dari segi fisik, motorik, bahasa, sosial, kreativitas, emosi, kognisi dan moral, meskipun dengan paparan yang sangat terbatas dan singkat ini, kiranya dapat berguna untuk mengenal bagaimana pendidikan untuk anak pra-sekolah menurut tinjauan psikologis yang sesuai dengan perkembangan usia mereka.
Sejarah Perkembangan Pendidikan prasekolah
Pada tahun 1990 an merupakan awal sejarah berdiri pendidikan prasekolah dengan tokoh terkenal yaitu Frobel dan Montessori. Maria Montessori adalah seorang dokter dan antropologi perempuan yang pertama. Ia memiliki pemikiran-pemikiran dan metode-metode pendidikan yang sampai saat masih populer di seluruh dunia. Montessori menjadi sangat berminat terhadap pendidikan anak sejak ia bekerja untuk anak-anak terbelakang mental, dan ternyata Montessori dapat menerapkan metode untuk anak-anak terbelakang mental itu kepada anak-anak normal. Minat besar Montessori terwujud dengan mendirikan sekolah sebagaimana Soemiarti Patmonodewo mengemukakan.
Sekolah yang pertama didirikan Montessori di Roma pada tahun 1907 dan dalam waktu singkat sekolah semacam itu berkembang di seluruh dunia. Apabila Frobel terkenal dengan Kindergartenya, Montessori menyebut sekolahnya dengan Casa Dei Ambini Montessori seperti Frobel memandang perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Ia juga memahami bahwa pendidikan sebagai aktivitas diri, yang mengarah pada pembentukan disiplin pribadi dan kemandirian (Soemiarti, 2000:9-10).
Pendidikan anak model Montessori menurut Soemiarti Patmonodewo berlandaskan pada falsafah yaitu ingatan yang meresap (absorben mird), lingkungan yang disiapkan (the prepared environment), belajar mengorganisasi sendiri (auto education) dan memperhatikan masa peka anak (sensitive periode).
Absorben mind adalah prinsip yang penting dalam falsafah. Montessori. Ia percaya bahwa bayi telah mampu mengabsorsi stimulus lingkungan secara tidak sadar. Semakin usia bertambah, anak semakin menyadari ingatan yang kemudian mengorganisasikan dan menggeneralisasikan terhadap stimulus lingkungan. Contohnya anak mengenal ibunya meskipun ibu mengenakan pakaian yang berbeda. Atas dasar ini, maka seseorang ketika dewasa dapat mengingat dan menceriterakan peristiwa masa pra-sekolah karena usia tersebut dianggap masa mulai timbul kesadaran dan mulai dapat mengingat peristiwa. Semakin usia bertambah, semakin, sempurna pula daya mengingat peristiwa-peristiwa masa lalu.
Prepare environment adalah mempersiapkan lingkungan pembelajaran misalnya dengan penataan warna dan sarana yang memadai yang menumbuh kembangkan kreativitas anak. Menurut Montessori anak harus dapat mengenal kekayaan lingkungan. Dengan prinsip ini, misalnya jika anak hanya mengenal alat-alat permainan yang terbuat dari kaleng atau plastik yang tidak pecah, perbuatan itu sangat merugikan jiwa anak, sebab bukankah anak tersebut dapat memperlakukan cangkir kaleng atau plastik itu sekasar-kasarnya tanpa menyadari bahwa perbuatan tersebut kasar. Itulah sebabnya pendidikan model Montessori memerlukan biaya mahal yang biasa diselenggarakan oleh lembaga swasta di perkotaan.
Sensitive period adalah masa dalam perkembangan anak, di mana suatu konsep/pengertian tertentu lebih mudah dipelajari oleh anak karena mereka telah memiliki kesiapan (readness). Setiap anak berkembang pada masa yang berbeda. Falsafah dari Montesseri ini penting untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra-sekolah, sebab keberhasilan anak dalam pendidikan tergantung pada saat dimana seorang anak mengalami masa peka dan siap untuk menerima pelbagai penguasaan sebagai harapan orangtua terhadap anak-anak usia dini.
Jadi harapan orangtua terhadap pendidikan anak-anak harus menyesuaikan dengan masa kematangan dan kesiapan mereka, bukan malah hanya memenuhi kebanggaan orang tua dengan cara memaksakan harapan orangtua. Akibat harapan orangtua yang terlampau tinggi untuk anak seusia pra-sekolah, maka anak mungkin akan merasa terbebani oleh harapan orangtua yang terlampau idealis, padahal anak belum cukup umur dan belum siap untuk memenuhi harapan orangtuanya.
Di Indonesia kehadiran pendidikan pra-sekolah terkait dengan sejarah Belanda ketika menjajah negeri ini sebagaimana Patmonodewo mengemukakan:
Usaha pendidikan anak pra-sekolah di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1904 pada saat Pemerintah Hindia Belanda membuka kelas persiapan (Voorklas) yang fungsinya menyiapkan anak-anak memasuki HLS (bentuk sekolah rendah di Indonesia pada zaman Belanda). Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh gerakan di lingkungan Perguruan Taman siswa, mendirikan Taman Indria, yaitu suatu sarana pendidikan untuk anak pra-sekolah. Bersamaan dengan berdiri Taman Indria, berdiri pula Taman Kanak-kanak dengan nama Bustanul Athfal atau Raudhatul Athfal yang disponsori oleh organisasi-organisasi Islam.
Pada tahun 1950 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai ikut mengelola keberadaan pendidikan pra-sekolah dan mulai mengakui bahwa pendidikan pra-sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 4 tahun 1950 .tentang Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, juncto No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan di sekolah berikut ini:
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar di sekolah-sekolah Republik Indonesia. Di TK dan tiga kelas yang terendah di sekolah dasar, bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar (pasal 5).
Menurut jenisnya, maka pendidikan dan pengajaran dibagi atas: Pendidikan dan Pengajaran TK, Pendidikan dan Pengajaran Rendah, Pendidikan dan Pengajaran Menengah, Pendidikan dan Pengajaran Tinggi serta Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa yang diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6).
Pendidikan dan Pengajaran TK bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani anak-anak sebelum ia masuk sekolah rendah (pasal 7). Pada tahun 1964 pemerintah mulai menyusun kurikulum TK yang sebelumnya hanya merupakan sebuah Pedoman Bermain seiring dengan berdirinya Sekolah Guru TK (SGTK). Cikal bakal ini berkelanjutan, di mana pemerintah berupaya terus untuk menyempurnakan kurikulum TK tahun 1968, kurikulum TK tahun 1976, kurikulum TK tahun 1984, dan kurikulum TK tahun 1994.
Dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (2) menyebutkan: pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan adalah untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan keterampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup.
Peraturan Pemerintah No, 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah pada Bab I, Pasal 1, ayat (2) menyatakan:
Yang dimaksud dengan Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan pra-sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun menjelang memasuki pendidikan dasar.
Satuan pendidikan pra-sekolah meliputi Taman Kanak-Kanak, kelompok bermain dan Penitipan Anak. Taman Kanak-Kanak terdapat di jalur pendidikan sekolah, sedangkan kelompok Bermain dan Penitipan anak terdapat di jalur pendidikan luar sekolah.
Dalam kurikulum TK tahun 1994 menjelaskan bahwa pembinaan segi pendidikan anak pada Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan usaha kesejahteraan anak bagi Kelompok Bermain dan Penitipan Anak menjadi tanggung jawab Menteri Sosial. Lamanya pendidikan di TK adalah satu atau dua tahun sesuai dengan usia anak. Jika suatu TK memilih program satu tahun, TK tersebut dapat menyelenggarakan kelompok A (usia 4 - 5 tahun) atau kelompok E (usia 5-6 tahun). Jika memilih program dua tahun, maka TK tersebut menyelenggarakan Program A dan B, masing-masing lamanya satu tahun.
Pelaksanaan pendidikan TK yang tercantum dalam kurikulum TK tahun 1994 mencantumkan antara lain :
- (1) TK adalah salah satu bentuk pendidikan sekolah yang bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, perilaku, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan keluarganya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
- (2) Pendidikan TK tidak merupakan persyaratan untuk memasuki Sekolah Dasar
- (3) Program pendidikan kelompok A dan kelompok B bukan merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap anak didik
- (4) Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip bermain sambil belajar, atau belajar seraya bermain, karena dunia nak adalah dunia bermain.
Dengan peraturan pemerintah, perundang-undangan yang berlaku maupun kurikulum yang secara terus menerus disempurnakan, berarti pemerintah menaruh disempurnakan, berarti pemerintah menaruh kepedulian yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan anak pra-sekolah dan kiranya setiap lembaga atau pihak yang terkait dan berminat menyelenggarakan pendidikan untuk anak pra-sekolah ini seyogyanya mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tentunya telah memperhatikan pemikiran dan temuan-temuan para pakar dibidang ini.
Dalam kenyataan di lapangan masih banyak TK yang berlomba menawarkan program yang menggiurkan orangtua dengan program yang belum tentu sesuai dengan perkembangan anak, bahkan hanya memenuhi kebanggaan orangtua saja. Misalnya TK yang menjanjikan anak-anak didiknya setelah lulus dari pendidikan akan pandai menulis, membaca, berbahasa asing dan pelbagai penguasaan lain yang umumnya menjadi trend zaman seperti bermain komputer, bermain piano, terampil matematik dengan metode kumon, pandai membaca al-qur’an dengan metode iqra dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, pada bagian berikutnya makalah ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana kepandaian baca tulis pada anak usia pra-sekolah menurut tinjauan psikologi.
Kepandaian Baca Tulis Anak Prasekolah
Meskipun berfikir anak pada usia ini sudah berada pada tarah pra-operasional di mana anak sudah menguasai simbol-simbol (sign) yang tertangkap melalui bahasa verbal atau kata-kata, tetapi mereka belum dapat belajar berfikir secara kebalikannya dari perspektif orang lain. Itulah yang mengantarkan Piaget pada suatu kesimpulan bahwa masa anak pra-sekolah sebagai persiapan untuk tahapan berikutnya, this period as a time of preparation for the next stage.
Sebagai periode persiapan, maka pelbagai macam kegiatan dan bahan pelajaran dalam pendidikan prasekolah sifatnya terbatas pada aspek pengenalan dan persiapan, bukan pada hasil yang ditargetkan. Orang tua atau sekolah yang terlampau mengharapkan dan mentargetkan anak-anak agar menguasai kepandaian tertentu, misalnya anak harus pandai membaca, menulis, berhitung, menggambar dengan bagus dengan pengawasan yang sangat ketat, akan membuat anak frustrasi dan hilang semangat untuk belajar. Kalaupun anak mampu memenuhi harapan orangtua yang kemudian orang tua menjadi bangga karenanya, maka kebanggaan orangtua tersebut belum tentu merupakan panggilan hati dan kesenangan anak-anak. Situasi pendidikan seperti inilah yang membuat psikologis anak tidak sehat.
Menyadari akan bahaya psikologis pada anak-anak pra-sekolah, maka kurikulum TK 1994 telah berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan anak pra-sekolah sebagaimana prinsip-prinsip psikologi perkembangan, terutama mengikuti frame teori Piaget. Dalam kaitan ini kurikulum TK 1994 menyatakan:
Taman Kanak-Kanak bukan sekolah. TK merupakan tempat bermain sambil belajar, sedangkan Sekolah Dasar merupakan tempat belajar. Di TK tidak diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung/matematika seperti di SD, yang diberikan di TK adalah usaha atau kegiatan persiapan membaca dan menulis serta permulaan berhitung/matematika. Dalam kegiatan ini di TK dibatasi pada usaha meletakkan dasar-dasar kesanggupan membaca, menulis dan berhitung/matematika. Setelah anak mengikuti program pendidikan TK, anak diharapkan telah memiliki kesanggupan-kesanggupan dan pengetahuan tertentu yang memungkinkan ia dapat mengikuti pelajaran permulaan membaca, menulis dan berhitung/matematika tanpa banyak kesulitan. Kegiatan-kegiatan di atas harus dilakukan dengan menyenangkan, misalnya melalui bernyanyi, bermain, mengucapkan syair, pengenalan menulis dan berhitung sambil melihat-lihat gambar yang sesuai dengan minat anak.
Menurut Vygotsky (Dworetzky, 1990:27), manusia lahir dengan seperangkat fungsi kognitif kasar yaitu kemampuan untuk memperhatikan, mengamati dan mengingat. Dengan kemampuan dasar itu lingkungan tinggal mentransformasi alam bentuk interaksi atau pengajaran dengan menggunakan bahasa.
Pendapat vygotsky tersebut di atas meskipun memberi peluang optimis untuk pendidikan anak pra-sekolah, namun ia tidak menjelaskan lebih rinci kapan idealnya anak menerima pengajaran baca tulis dengan seperangkat kemampuan kognitif kasar yang diperoleh sejak lahir itu. Oleh karena itu hanya dengan mengandalkan pendapat Vygotsky kiranya sangat lemah untuk melegalisasi kepandaian baca tulis pada pendidikan anak pra-sekolah.
Akan tetapi Montessori (Soemiarti, 2000:10) percaya bahwa sebaiknya membaca diajarkan pada anak sejak dini dan periode yang tepat adalah pada usia 2 – 6 tahun, karena masa tersebut dianggap sebagai masa sensitif (sensitive peroid) untuk belajar membaca. Meskipun demikian, Montessori berperan, “pendidikan seharusnya tidak dibebankan kepada anak. Dengan lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan anak bereaksi secara bebas dan mengembangkan dirinya sendiri dalam garis-garis pikirannya sendiri. Maka harus ada kebebasan dalam lingkungan yang telah dipersiapkan (prepared environment) tersebut untuk pengembangan fisik, mental, dan perkembangan spiritualnya. Kemungkinan mengajarkan membaca untuk anak usia dini juga perlu ditunjang oleh metode yang sesuai dengan perkembangan mereka sebagaimana pendapat Sumadi Suryabroto (1994:153), bahwa sebetulnya sangat mungkin anak umur 3 - 4 tahun diajarkan membaca, asal dipakai cara-cara yang tepat serta kriteria dan didaktiknya disesuaikan.
Memperhatikan pendapat-pendapat yang berbeda seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa boleh tidaknya pengajaran membaca untuk anak prasekolah seyogianya dengan memperhatikan kesiapan (readness) anak itu sendiri, yang tidak selalu harus seiring dengan usia kalender (cronological ages), akan tetapi lebih terkait dengan usia mental (mental ages). Artinya, anak sudah mencapai kesiapan untuk membaca bukan karena usia mereka sekian tahun, tetapi apakah secara mental anak terlihat siap untuk menerima pengajaran membaca.
Dengan demikian, boleh jadi anak secara usia kalender belum saatnya menerima pengajaran membaca, akan tetapi secara mental mereka memiliki semangat dan mudah menerima pengajaran membaca. Maka dalam hal kesiapan ini cenderung bersifat individual, sehingga institusi sekolah tidak boleh menerapkan pengajaran membaca secara klasikal sama rata untuk anak didik di TK.
Di samping perlu memperhatikan kesiapan anak, faktor kecerdasan anak juga sangat menentukan terhadap efektivitas pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah, sebab pada anak-anak yang sangat cerdas dalam usia yang sangat muda seringkali mereka "secara main-main" sudah belajar membaca sebelum mereka masuk sekolah. Kasus semacam ini agaknya yang terjadi pada para sahabat Nabi, di mana pada usia yang sangat muda mereka sudah dapat menghafal sekian ayat Al-Qur’an atau sekian jumlah hadits, karena lingkungan saat itu sangat menunjang, sehingga anak-anak dengan usia yang sangat belia mungkin dengan cara tidak sengaja mereka sudah terbiasa belajar baca tulis.
Dengan memperhatikan rambu-rambu kesiapan dan kecerdasan anak-anak, maka metode pengajaran membaca untuk anak pra-sekolah patut menyesuaikan dengan potensi anak yang secara individual tentu berbeda. Dalam perspektif inilah pengajaran membaca dapat diselenggarakan pada pendidikan anak pra-sekolah bukan untuk memenuhi kebanggaan orang tua atau institusi, tetapi karena sesuai kemampuan dan kebutuhan anak
Berdasarkan tinjauan psikologis, kiranya kurikulum TK patut menjadi acuan pendidikan pra-sekolah secara klasikal, karena bimbingan khusus untuk anak-anak yang tergolong cerdas tidak dapat dilakukan secara klasikal, tetapi lebih bersifat individual, dengan tetap memperhatikan aspek bermain. Untuk itu, pendidikan pra-sekolah harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
- (1) TK merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah. Untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan.
- (2) Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individu sesuai dengan kebutuhan anak usia pra-sekolah
- (3) Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar
- (4) Kegiatan belajar di TK adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari.
- (5) Sifat belajar di TK merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah
- (6) Bermain merupakan cara paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik (Soemiarti, 2000:69-70)
Bermain mempunyai makna penting bagi perkembangan anak pra-sekolah. Frank dan Teresa Caplan (Moeslihatoen, 1999:25) menjelaskan ada enam belas (16) makna bermain pertumbuhan anak yaitu :
(1) Bermain membantu pertumbuhan anak
(2) Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela
(3) Bermain memberi kebebasan anak untuk bertindak
(4) Bermain memberikan dunia khayal yang dapat dikuasai
(5) Bermain meletakkan dasar pengembangan bahasa
(6) Bermain mempunyai pengaruh yang unik dalam pembentukan hubungan antara pribadi
(7) Bermain memberi kesempatan anak untuk menguasai diri secara fisik
(8) Bermain memperluas minat dan pemusatan perhatian
(9) Bermain mempunyai unsur berpetualang di dalamnya
(10) Bermain merupakan cara untuk menyelidiki sesuatu
(11) Bermain merupakan cara untuk mempelajari peran orang dewasa
(12) Bermain merupakan cara dinamis untuk belajar
(13) Bermain menjernihkan pertimbangan anak
(14) Bermain dapat di struktur secara akademis
(15) Bermain merupakan kekuatan hidup
(16) Bermain merupakan sesuatu yang esensial bagi kelestarian hidup manusia.
BM dan Newman, PR. Infancy and Childhood. New York : Jauh Wiley & Sons 1978
Biechler, RF & Snowman, J. Psychology Applied Teaching. Toronto: Houghton Mifflin Company 1993
Dworetzky, Jauh F. Introduction to Child Development. New York : West Publishing Company 1990
Gordon, Ann Milles and Katheryn Williams Browne. Beginning and Beyond : Foundations in Early Chilhood Education. New York : Delmar Publisher 1985
Hildebrand, Verna. Introduction to Early Childhood Education. New York : McMilan Publishing Company 1986
Miller, Patricia H. Theories of Developmental Psychology. New York. WH. Freeman and Company 1993.
Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : UGM Press. 1994.
Moeslihatoen R. Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta. Rinkea Cipta. 1999.
Noor, Mahpuddin, Ciptakan Suasana Religius di Lingkungan Keluarga, Media Pembinaan, Edisi Bulan Juni 2006.
Limbong, Mesta P. Kesehatan Mental Khususnya Mereka yang baru Memasuki Pendidikan Prasekolah ditinjau dari Teori Interpersonal Karen Horney, Jurnal) Dinamika Pendidikan. Jakarta UKI. 1999.
Patmonodewa Soemiarti. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta 2000.
Suryobroto, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Rake Sarasin 1994.
Team. Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Pendidikan TK. Jakarta. Depdikbud 1994
Weton, David & Mallan, Jauh, T. Children and Their Word Strategis for Teaching Social Studies. New Jersey : Houghton Mifflin Company Boston. 1982.
Promo menjual jas koko bordir | Baju Koko Gaul.