Perempuan dan Isu Gender. Gerakan feminis sekuler di Barat merupakan respon atau reaksi terhadap pandangan buruk (stereotype) terhadap perempuan yang tertuang dalam tata nilai atau budaya, hukum dan politik di masyarakat waktu itu. Sejak zaman para tokoh sekaliber : Plato, Aristoteles hingga John Locke, Rousseau pada awal abad modern, perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Para Pemuka Gereja juga selalu menuding wanita sebagai biang kerok keluarnya Adam as dari surga. Perempuan dipandang sebagai sumber bencana dan malapetaka. Perempuan hanya diberi peran dalam urusan : dapur, sumur dan kasur saja.
Mary Wollstonecraft lewat bukunya A Vindication of The Right of Women (1792) dengan sangat lantang mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Ia menuntut hak dalam masalah pendidikan dan politik. Perempuan harus dibebaskan dari kurungan rumah tangga. Gerakan feminis juga menuntut reformasi di bidang hukum dan perundang-undangan, segala perlakuan pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) harus dihapuskan. Agenda mereka lainnya adalah bagaimana membebaskan wanita dari “Penjara Kesadarannya“ yakni dengan mengingatkan kaum perempuan bahwa mereka sedang berada dalam cengkraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang didominasi laki-laki. (male- dominated world). Belakangan malah muncul kaum feminis sekuler radikal yang mengutuk segala sistem patriaki (dominan laki-laki), mencemoohkan pernikahan. Menurut mereka menjadi seorang istri sama saja dengan menyandera diri, hidup bersama seorang suami itu dianggap sebagai hidup dengan musuh (living with the enemy). Mereka mendukung dan mengkampanyekan aborsi dan lesbianisme. Qasim Amin yang disebut-sebut sebagai “Bapak Feminis Arab“ dalam bukunya “ Tahrirul Mar’ah“ (Cairo,1899) dan “Al-Mar’ah Al-jadidah (Cairo, 1900) yang kontroversial menyeru agar membuang jauh-jauh doktrin-doktrin Islam yang ia nilai membelenggu dan menindas perempuan, seperti perintah berjilbab, taat kepada suami, bolehnya poligami dsb. Ajaran Islam dinilai mencerminkan budaya patriarkhis.
Gerakan feminis sekuler radikal ini nampaknya cukup berpengaruh di kalangan muslim. Kita mengenal : Aminah Wadud Aktifis Feminis Muslim, ilmuan asal Afrika Selatan, penulis buku “Qur’an and Women“, asisten professor studi Islam di Departemen Filsafat dan studi agama di Virginia Commonwelth University yang bikin heboh dengan tampil sebagai khotib jum’at, dengan jamaah campuran lelaki dan perempuan dengan mengambil tempat di Katedral Saint John milik keuskupan Manhatan, New York, dengan muadzin wanita – Sueyhla El-Attar, penyiar radio di Atlanta asal Mesir, dengan shaf laki dan perempuan sejajar, dan sebagian jamaah wanitanya tidak menutup aurat. Fatima Mernissi penulis buku Beyond The Veil dari Maroko; Riffat Hasan, pendiri The International Network for The Rights of Female Victims of Violence dari Pakistan; Taslima Nasreen penulis buku Amar Meyebela dari Bangladesh; dan Nawal al-Saadawi penulis buku The Hiden Face of Eve dari Mesir.
Para Ulama seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Sayyid Quttub, Yusuf Qardhawi, dsb. menolak dengan terang anggapan bahwa ajaran islam diskriminatif. Islam mengakui hak-hak perempuan di wilayah publik. Mahmud Abu Syuqqah dalam bukunya Tahrirul-Mar’ah fi ‘Ashrir-Risalah (1991) menunjukkan bukti-bukti bahwa ajaran Islam sangat emansipatoris. Kehadiran Islam telah mendorong terjadinya revolusi gender pada abad ketujuh. Islam telah memerdekakan perempuan dari kultur jahiliyyah yang sangat biadab. Islam telah mengeliminir tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan, mengawini perempuan tanpa batas, dsb. Dalam Islam lelaki dan perempuan diposisikan setara. Derajat mereka bukan ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kwalitas keimanan dan ketakwaan masing-masing. Dalam kehidupan rumah tangga suami istri dua-duanya diumpamakan sebagai pakaian, masing-masing diberi peran dan tangung jawab yang berbeda, seperti lazimnya dalam hubungan antar sesama manusia. Demikian juga dalam kehidupan bermasyarakat Ajaran Islam memberi ruang dan kesempatan yang sama untuk beramar makruf dan nahi munkar, serta berlomba dalam kebaikan.
Di dunia Barat sendiri pada akhirnya pandangan terhadap ide dan gerakan feminis ini mulai berbalik dan menuai berbagai kecaman. Gerakan feminis sekuler dinilai Chauvinistik, hanya memikirkan kepentingan kaum perempuan saja. Mereka dianggap telah mengebiri laki-laki, dengan mengompori kaum perempuan untuk meninggalkan suami mereka, dan membunuh anak mereka. menyuburkan lesbianisme, mengubah perempuan-perempuan menjadi makhluk-makhluk gila karir, hidup dalam kesepian, pulang ke rumah hanya untuk kasih makan kucing atau anjing. Masalah gender semestinya tidak dipahami sebagai perseteruan atau pertarungan antar kelompok. Antara kaum laki-laki dan perempuan bukanlah untuk saling menegasikan, melainkan dipahami dalam persfektif kerja sama dan hubungan timbal balik yang saling mendukung , saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain. Gerakan feminis dinilai telah merusak sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Di negara-negara seperti : Jerman, Perancis, Swedia, Jepang, dan Singapora pererintahnya sedang berupaya mengatasi krisis demografis ( kependudukan ). Banyaknya perempuan yang enggan hamil, dan perempuan yang melakukan aborsi dikawatirkan akan membawa dampak yang sangat buruk bagi masa depan negaranya. Menurut majalah Stern edisi 28 Juni 2005 jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian, maka pada tahun 2060 Jerman diprediksi akan menjadi sebuah negara tempat penampungan tua jompo, menjadi Land ohne Kinder ( tanah tanpa anak-anak ).
Jika sudah demikian : “ Faina Tadzhabun Wahai para aktifis feminis sekuler ?
Sumber kutipan: Artikel Ust. Shidiq Amien Allohu Yarham pada Rubrik Fiqroh Majalah Risalah
Baca juga: Dakwah dan Permasalahannya|dan Keterkaitan Teknologi dengan Islam|Cara berkompromi dengan perasaan wanita|
wallohu'alam bishowab.
Mary Wollstonecraft lewat bukunya A Vindication of The Right of Women (1792) dengan sangat lantang mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Ia menuntut hak dalam masalah pendidikan dan politik. Perempuan harus dibebaskan dari kurungan rumah tangga. Gerakan feminis juga menuntut reformasi di bidang hukum dan perundang-undangan, segala perlakuan pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) harus dihapuskan. Agenda mereka lainnya adalah bagaimana membebaskan wanita dari “Penjara Kesadarannya“ yakni dengan mengingatkan kaum perempuan bahwa mereka sedang berada dalam cengkraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang didominasi laki-laki. (male- dominated world). Belakangan malah muncul kaum feminis sekuler radikal yang mengutuk segala sistem patriaki (dominan laki-laki), mencemoohkan pernikahan. Menurut mereka menjadi seorang istri sama saja dengan menyandera diri, hidup bersama seorang suami itu dianggap sebagai hidup dengan musuh (living with the enemy). Mereka mendukung dan mengkampanyekan aborsi dan lesbianisme. Qasim Amin yang disebut-sebut sebagai “Bapak Feminis Arab“ dalam bukunya “ Tahrirul Mar’ah“ (Cairo,1899) dan “Al-Mar’ah Al-jadidah (Cairo, 1900) yang kontroversial menyeru agar membuang jauh-jauh doktrin-doktrin Islam yang ia nilai membelenggu dan menindas perempuan, seperti perintah berjilbab, taat kepada suami, bolehnya poligami dsb. Ajaran Islam dinilai mencerminkan budaya patriarkhis.
Gerakan feminis sekuler radikal ini nampaknya cukup berpengaruh di kalangan muslim. Kita mengenal : Aminah Wadud Aktifis Feminis Muslim, ilmuan asal Afrika Selatan, penulis buku “Qur’an and Women“, asisten professor studi Islam di Departemen Filsafat dan studi agama di Virginia Commonwelth University yang bikin heboh dengan tampil sebagai khotib jum’at, dengan jamaah campuran lelaki dan perempuan dengan mengambil tempat di Katedral Saint John milik keuskupan Manhatan, New York, dengan muadzin wanita – Sueyhla El-Attar, penyiar radio di Atlanta asal Mesir, dengan shaf laki dan perempuan sejajar, dan sebagian jamaah wanitanya tidak menutup aurat. Fatima Mernissi penulis buku Beyond The Veil dari Maroko; Riffat Hasan, pendiri The International Network for The Rights of Female Victims of Violence dari Pakistan; Taslima Nasreen penulis buku Amar Meyebela dari Bangladesh; dan Nawal al-Saadawi penulis buku The Hiden Face of Eve dari Mesir.
Para Ulama seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Sayyid Quttub, Yusuf Qardhawi, dsb. menolak dengan terang anggapan bahwa ajaran islam diskriminatif. Islam mengakui hak-hak perempuan di wilayah publik. Mahmud Abu Syuqqah dalam bukunya Tahrirul-Mar’ah fi ‘Ashrir-Risalah (1991) menunjukkan bukti-bukti bahwa ajaran Islam sangat emansipatoris. Kehadiran Islam telah mendorong terjadinya revolusi gender pada abad ketujuh. Islam telah memerdekakan perempuan dari kultur jahiliyyah yang sangat biadab. Islam telah mengeliminir tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan, mengawini perempuan tanpa batas, dsb. Dalam Islam lelaki dan perempuan diposisikan setara. Derajat mereka bukan ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh kwalitas keimanan dan ketakwaan masing-masing. Dalam kehidupan rumah tangga suami istri dua-duanya diumpamakan sebagai pakaian, masing-masing diberi peran dan tangung jawab yang berbeda, seperti lazimnya dalam hubungan antar sesama manusia. Demikian juga dalam kehidupan bermasyarakat Ajaran Islam memberi ruang dan kesempatan yang sama untuk beramar makruf dan nahi munkar, serta berlomba dalam kebaikan.
Di dunia Barat sendiri pada akhirnya pandangan terhadap ide dan gerakan feminis ini mulai berbalik dan menuai berbagai kecaman. Gerakan feminis sekuler dinilai Chauvinistik, hanya memikirkan kepentingan kaum perempuan saja. Mereka dianggap telah mengebiri laki-laki, dengan mengompori kaum perempuan untuk meninggalkan suami mereka, dan membunuh anak mereka. menyuburkan lesbianisme, mengubah perempuan-perempuan menjadi makhluk-makhluk gila karir, hidup dalam kesepian, pulang ke rumah hanya untuk kasih makan kucing atau anjing. Masalah gender semestinya tidak dipahami sebagai perseteruan atau pertarungan antar kelompok. Antara kaum laki-laki dan perempuan bukanlah untuk saling menegasikan, melainkan dipahami dalam persfektif kerja sama dan hubungan timbal balik yang saling mendukung , saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain. Gerakan feminis dinilai telah merusak sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Di negara-negara seperti : Jerman, Perancis, Swedia, Jepang, dan Singapora pererintahnya sedang berupaya mengatasi krisis demografis ( kependudukan ). Banyaknya perempuan yang enggan hamil, dan perempuan yang melakukan aborsi dikawatirkan akan membawa dampak yang sangat buruk bagi masa depan negaranya. Menurut majalah Stern edisi 28 Juni 2005 jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian, maka pada tahun 2060 Jerman diprediksi akan menjadi sebuah negara tempat penampungan tua jompo, menjadi Land ohne Kinder ( tanah tanpa anak-anak ).
Jika sudah demikian : “ Faina Tadzhabun Wahai para aktifis feminis sekuler ?
Sumber kutipan: Artikel Ust. Shidiq Amien Allohu Yarham pada Rubrik Fiqroh Majalah Risalah
Baca juga: Dakwah dan Permasalahannya|dan Keterkaitan Teknologi dengan Islam|Cara berkompromi dengan perasaan wanita|
wallohu'alam bishowab.