Artikel agama dengan judul "Menuntut Pemimpin Tegas" ini ditulis setelah postingan sebelumnya tentang fatwa MUI tentang perayaan Natal bagi umat Islam. Karena isu hangat yang diperbincangkan yang menyangkut agama, politik dan sosial, penulis hendak mengeluarkan opini pribadi sebagai unek-unek yang ingin dikeluarkan di ruang publik ini.
Pemimpin yang tegas, itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini. Menjadi pemimpin dalam ajaran Islam tidak hanya sebatas di dunia. Melainkan juga bertanggung jawab hingga ke akhirat kelak. Persoalan yang melilit bangsa ini sekarang menuntut tegasnya pimpinan nasional dalam menegakkan hukum yang berkeadilan. Dalam hal keputusan hukuman bagi penista agama dalam kasus Ahok semestinya tidak dibiarkan berlarut-larut menunggu kepastian.
Munculnya tuntutan masyarakat yang tidak terbendung memunculkan aksi bela Islam dari mulai jilid satu hingga episode ber jilid-jilid yang super damai bukanlah terjadi karena kemarahan kepada individu, tetapi lebih pada menunggu proses kepastian hukum yang agak lamban. Bercermin ke Negara Tunis dan Mesir yang telah lebih dahulu menjadi contoh aktual bagaimana rakyat menderita secara ekonomi, berhasil menggulingkan pemerintahan yang disokong oleh militer dan negara asing. Apatah lagi bila rakyat, umat Islam menderita batin akibat dibiarkannya penodaan dan penista agama.
Kasus penistaan terhadap agama sebelumnya telah terjadi di Temanggung, dimana seorang penista agama Islam dan Kristen, telah memprovokasi kedua umat penganut agama di daerah tersebut agar bertengkar dan menumpahkan darah hanya divonis dengan hukuman 5 tahun penjara. Kemudian yang terjadi di penghujung tahun 2016 ini kasus Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dalam kasus penistaan Agama belum juga selesai digelar.
Anehnya yang diancam hukum itu malah pihak lain yang dianggap membuat resah melalui media sosial dengan delik hukum terjerat undang-undang ITE yang belum lama disahkan. Tuduhan provokator dan makar dialamatkan kepada mereka yang menulis atau berkomentar fakta penistaan agama dan kemdudian menjadi viral di jejaring sosial.
Sisi positif dari rangkaian kejadian Aksi Damai Bela Islam menyadarkan umat akan kepedulian terhadap agamanya. Pemimpin negara dapat melihat fakta masyarakat muslim mayoritas terbesar di Indonesia yang kian peduli bila nilai keagamaan terusik. Berkumpulnya jutaan umat Islam dalam aksi super damai jilid 3 di monas mematahkan tudingan bahwa aksi-aksi sebelumnya itu dilakukan oleh para pendemo bayaran.
Negara Indonesia sangat butuh pemimpin negarawan yang memiliki keperwiraan dan kesetiaan terhadap kebenaran. Jika sifat-sifat itu dibiarkan, maka sabda Rasulullah SAW yang memperingatkan kehancuran suatu bangsa, tak bisa dihindarkan lagi. Diantaranya, ulama menghianati ilmunya, pemimpin yang menyalahi janjinya, pedagang yang melakukan manipulasi, pegawai yang tidak jujur, dan lain-lain. Seluruh penyakit bangsa itu dapat disembuhkan dengan pemimpin tegas dalam urusan keutuhan negara.
Semoga Alloh yang maha agung melimpahkan rahmat dan karuania-Nya serta senantiasa menaungi kita semua dalam Ridlo dan Maghfiroh-Nya. Mari bersatu memelihara dan menjaga NKRI demi generasi umat di masa yang akan datang.
Pemimpin yang tegas, itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini. Menjadi pemimpin dalam ajaran Islam tidak hanya sebatas di dunia. Melainkan juga bertanggung jawab hingga ke akhirat kelak. Persoalan yang melilit bangsa ini sekarang menuntut tegasnya pimpinan nasional dalam menegakkan hukum yang berkeadilan. Dalam hal keputusan hukuman bagi penista agama dalam kasus Ahok semestinya tidak dibiarkan berlarut-larut menunggu kepastian.
Munculnya tuntutan masyarakat yang tidak terbendung memunculkan aksi bela Islam dari mulai jilid satu hingga episode ber jilid-jilid yang super damai bukanlah terjadi karena kemarahan kepada individu, tetapi lebih pada menunggu proses kepastian hukum yang agak lamban. Bercermin ke Negara Tunis dan Mesir yang telah lebih dahulu menjadi contoh aktual bagaimana rakyat menderita secara ekonomi, berhasil menggulingkan pemerintahan yang disokong oleh militer dan negara asing. Apatah lagi bila rakyat, umat Islam menderita batin akibat dibiarkannya penodaan dan penista agama.
Kasus penistaan terhadap agama sebelumnya telah terjadi di Temanggung, dimana seorang penista agama Islam dan Kristen, telah memprovokasi kedua umat penganut agama di daerah tersebut agar bertengkar dan menumpahkan darah hanya divonis dengan hukuman 5 tahun penjara. Kemudian yang terjadi di penghujung tahun 2016 ini kasus Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dalam kasus penistaan Agama belum juga selesai digelar.
Anehnya yang diancam hukum itu malah pihak lain yang dianggap membuat resah melalui media sosial dengan delik hukum terjerat undang-undang ITE yang belum lama disahkan. Tuduhan provokator dan makar dialamatkan kepada mereka yang menulis atau berkomentar fakta penistaan agama dan kemdudian menjadi viral di jejaring sosial.
Sisi positif dari rangkaian kejadian Aksi Damai Bela Islam menyadarkan umat akan kepedulian terhadap agamanya. Pemimpin negara dapat melihat fakta masyarakat muslim mayoritas terbesar di Indonesia yang kian peduli bila nilai keagamaan terusik. Berkumpulnya jutaan umat Islam dalam aksi super damai jilid 3 di monas mematahkan tudingan bahwa aksi-aksi sebelumnya itu dilakukan oleh para pendemo bayaran.
Negara Indonesia sangat butuh pemimpin negarawan yang memiliki keperwiraan dan kesetiaan terhadap kebenaran. Jika sifat-sifat itu dibiarkan, maka sabda Rasulullah SAW yang memperingatkan kehancuran suatu bangsa, tak bisa dihindarkan lagi. Diantaranya, ulama menghianati ilmunya, pemimpin yang menyalahi janjinya, pedagang yang melakukan manipulasi, pegawai yang tidak jujur, dan lain-lain. Seluruh penyakit bangsa itu dapat disembuhkan dengan pemimpin tegas dalam urusan keutuhan negara.
Semoga Alloh yang maha agung melimpahkan rahmat dan karuania-Nya serta senantiasa menaungi kita semua dalam Ridlo dan Maghfiroh-Nya. Mari bersatu memelihara dan menjaga NKRI demi generasi umat di masa yang akan datang.