Diantara kekayaan alam nusantara dari sektor non migas berupa tumbuhan tropis yang sudah sejak lama ditanam adalah kopi. Bahkan penanaman kopi di Indonesia telah ada ketika zaman kolonialisme bangsa Eropa yang sengaja menjajah mencari rempah-rempah tercatat dalam berbagai buku sejarah. VOC atau Dutch East India Company sebagai kaki tangan Belanda semenjak tahun 1690 telah menanam biji kopi Arabica Malabar India ditaman di Batavia untuk sampel hasil bibit yang super di daerah tatar priangan yang kemudian menghasilkan varietas yang sangat digemari di Eropa dengan nama coffee of Java Preanger atau kopi priangan.
Benih bibit pertama biji kopi priangan itu berasal dari pantai Malabar negara India pada tahun 1696 yang waktu itu ditanam di Batavia atau Jakarta sekarang. Penanaman kopi Batavia menghasilkan buah kopi Arabica yang khas dan sangat berbeda dari bibit aslinya. Namun seringnya banjir dan rob memaksakan proyek penanaman itu dipindahkan oleh para kolonialis Belanda ke daerah lain yang ketika itu dicoba ditanam di daerah tatar Sunda wilayah Priangan Jawa Barat sekarang. Hasil buah kopi red cery Arabica pegunungan Java Preanger ternyata melebihi ekspektasi para peneliti kopi dari kompeni pada waktu itu. Dahsyat luar biasa rasanya hingga permintaan eksport pun melonjak hingga berkali-kali lipat.
Peminat kopi khas jawa barat coffee of Java di eropa memaksa kolonial belanda melakukan penanaman secara besar-besaran di tatar sunda Priangan agar permintaan dapat terpenuhi. Ketika itu pemasok besar adalah negara Yaman. Puncak mulai memetik panen besar kopi di Jawa Barat terjadi di tahun 1724 dengan jumlah 663 ton menggeser kopi Yaman yang diekspor ke Eropa oleh VOC. Berbagai cara dilakukan oleh para penjajah agar mendapat kopi kualitas ekspor dari priangan diantaranya preanger stelsel cikal bakal culturstelsel serta VOC di tahun 1725 hingga 1780 menerapkan sistem monopoli perdagangan. Melejitnya coffee of Java dimanfaatkan pula oleh VOC dengan menanam kopi di daerah lain di Aceh, Sumatera, Bali, Sulawesi, hingga Timor-Timur.
Penanaman kopi arabika priangan mulai dihentikan pada 1885. Hal ini sebabkan oleh adanya serangan hama penyakit karat daun (Hemeleia Vastatrix). Jenis hama tersebut berhasil melahap habis perkebunan kopi di Sri Lanka pada 1880-an. Dalam upaya menanggulangi penyakit dan mengembalikan kopi di pulau Jawa kembali ke masa keemasannya, pemerintah kolonial memodernisasi penanaman kopi melalui perkembangan teknologi. Mulai mengganti tanaman kopi arabika dengan kopi liberika hingga kopi robusta yang tumbuh pada dataran yang lebih rendah. Hasil yang diperoleh selama dua dekade akhir abad 19 jauh dari yang diharapkan. Bahkan jatuhnya harga jual kopi pada 1890-an, membuat para petani menjadi enggan untuk membudidayakan tanaman tersebut.
Pada 1860-an, terjadi perubahan politik di Kerajaan Belanda. Salah satu perubahan tersebut ditandai dengan munculnya penulis bernama pena, “Multatuli”, yaitu Edward Douwes Dekker, yang menerbitkan novel berjudul Max Havelaar. Dekker dalam novelnya memotret kondisi kolonialisme di Pulau Jawa. Dampak langsung dari kehadiran buku ini masih diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan dari abad 19 di Jawa. Yang pasti, pada 1860-an secara perlahan sistem tanam paksa mulai dihapus. Diawali dari penghapusan kewajiban menanam lada pada 1862, nila dan teh pada 1865, serta tembakau pada 1866 (Ricklefs; 2011).
Kopi dan gula merupakan komoditas yang paling menguntungkan Belanda jika dibandingkan tanaman yang wajib ditanam lainnya. Itulah mengapa penghapusan kewajiban menanam kopi paling akhir. Undang-Undang Gula pada 1870 menetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada 1878. Sementara itu, penghapusan sejarah penanaman kopi priangan baru berakhir pada awal 1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada Juni 1919 (Ricklefs; 2011). Ketidakmampuan pemerintah Belanda mengontrol hama penyakit yang menyerang tanaman kopi, membuat kopi di tanah Sunda “punah”.
Dari sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch, pihak Belanda mendapatkan banyak keuntungan. Sejak 1831 anggaran belanja kolonial Indonesia sudah seimbang, dan setelah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda. Dalam kurun 1831-1877 perbendaharaan Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta gulden. Pendapatan-pendapatan ini membuat perekonomian dalam negeri Belanda stabil: berbagai hutang dilunasi, pajak diturunkan, kubu pertahanan, terusan, dan jalan kereta api negara dibangun, semuanya diperoleh dari keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa di Pulau Jawa (Ricklefs, 2011).
Sejak tanam paksa kopi dihapus dan harga jual kopi yang anjlok, kebanyakan petani beralih pada mata pencaharian lainnya. Namun, di beberapa daerah kopi masih diproduksi dalam skala kecil di sekitar dusun dan hutan hingga awal abad 20. Meski pemerintah Indonesia memberikan respon berupa rasionalisasi budidaya kopi atas penyakit karat daun, mayoritas petani enggan kembali menanam kopi lantaran sudah memiliki mata pencaharian yang sulit ditinggalkan. (Fernado; 2003).
Info kopi Jawa Barat jaman now ada di Balarea Sangrai Kopi Priangan.
Referensi
Breman, Jan. Preanger Stelsel: Tanam Paksa Kopi di Pasundan. Arsip Ranesi-RNW. 15 Oktober 2010
Clarence-Smith, W. G adn Steven Topik. The Global Coffee Economy in Africa, Asia, and Latin America 1500-1989. United Kingdom: Cambridge. 2003
Muhsin, Mumuh Z. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Tatar Sunda: dari Masa Tarumanegara s.d. Masa Kolonial Belanda. Makalah disampaikan dalam Kursus Sejarah Sunda denga kerjasama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran dengan Majalah Mangle 19-24 Maret 2007
Niel, Robert Van. Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003.
Pujianto. Arah Menuju Produksi Kopi Berkelanjutan; Heading Toward Sustainable Coffee Production. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2007
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2011.
Robet, Hamzah. Presentasi di @america, From Sunda to San Francisco: The Journey of Indonesian Coffee. 2013
Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indnesia, Jakarta: Grasindo Kompas. 2006.
Zuhdi, Susanto. Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan Di Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2002.
Benih bibit pertama biji kopi priangan itu berasal dari pantai Malabar negara India pada tahun 1696 yang waktu itu ditanam di Batavia atau Jakarta sekarang. Penanaman kopi Batavia menghasilkan buah kopi Arabica yang khas dan sangat berbeda dari bibit aslinya. Namun seringnya banjir dan rob memaksakan proyek penanaman itu dipindahkan oleh para kolonialis Belanda ke daerah lain yang ketika itu dicoba ditanam di daerah tatar Sunda wilayah Priangan Jawa Barat sekarang. Hasil buah kopi red cery Arabica pegunungan Java Preanger ternyata melebihi ekspektasi para peneliti kopi dari kompeni pada waktu itu. Dahsyat luar biasa rasanya hingga permintaan eksport pun melonjak hingga berkali-kali lipat.
Peminat kopi khas jawa barat coffee of Java di eropa memaksa kolonial belanda melakukan penanaman secara besar-besaran di tatar sunda Priangan agar permintaan dapat terpenuhi. Ketika itu pemasok besar adalah negara Yaman. Puncak mulai memetik panen besar kopi di Jawa Barat terjadi di tahun 1724 dengan jumlah 663 ton menggeser kopi Yaman yang diekspor ke Eropa oleh VOC. Berbagai cara dilakukan oleh para penjajah agar mendapat kopi kualitas ekspor dari priangan diantaranya preanger stelsel cikal bakal culturstelsel serta VOC di tahun 1725 hingga 1780 menerapkan sistem monopoli perdagangan. Melejitnya coffee of Java dimanfaatkan pula oleh VOC dengan menanam kopi di daerah lain di Aceh, Sumatera, Bali, Sulawesi, hingga Timor-Timur.
Penanaman kopi arabika priangan mulai dihentikan pada 1885. Hal ini sebabkan oleh adanya serangan hama penyakit karat daun (Hemeleia Vastatrix). Jenis hama tersebut berhasil melahap habis perkebunan kopi di Sri Lanka pada 1880-an. Dalam upaya menanggulangi penyakit dan mengembalikan kopi di pulau Jawa kembali ke masa keemasannya, pemerintah kolonial memodernisasi penanaman kopi melalui perkembangan teknologi. Mulai mengganti tanaman kopi arabika dengan kopi liberika hingga kopi robusta yang tumbuh pada dataran yang lebih rendah. Hasil yang diperoleh selama dua dekade akhir abad 19 jauh dari yang diharapkan. Bahkan jatuhnya harga jual kopi pada 1890-an, membuat para petani menjadi enggan untuk membudidayakan tanaman tersebut.
Pada 1860-an, terjadi perubahan politik di Kerajaan Belanda. Salah satu perubahan tersebut ditandai dengan munculnya penulis bernama pena, “Multatuli”, yaitu Edward Douwes Dekker, yang menerbitkan novel berjudul Max Havelaar. Dekker dalam novelnya memotret kondisi kolonialisme di Pulau Jawa. Dampak langsung dari kehadiran buku ini masih diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan dari abad 19 di Jawa. Yang pasti, pada 1860-an secara perlahan sistem tanam paksa mulai dihapus. Diawali dari penghapusan kewajiban menanam lada pada 1862, nila dan teh pada 1865, serta tembakau pada 1866 (Ricklefs; 2011).
Kopi dan gula merupakan komoditas yang paling menguntungkan Belanda jika dibandingkan tanaman yang wajib ditanam lainnya. Itulah mengapa penghapusan kewajiban menanam kopi paling akhir. Undang-Undang Gula pada 1870 menetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada 1878. Sementara itu, penghapusan sejarah penanaman kopi priangan baru berakhir pada awal 1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada Juni 1919 (Ricklefs; 2011). Ketidakmampuan pemerintah Belanda mengontrol hama penyakit yang menyerang tanaman kopi, membuat kopi di tanah Sunda “punah”.
Dari sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch, pihak Belanda mendapatkan banyak keuntungan. Sejak 1831 anggaran belanja kolonial Indonesia sudah seimbang, dan setelah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda. Dalam kurun 1831-1877 perbendaharaan Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta gulden. Pendapatan-pendapatan ini membuat perekonomian dalam negeri Belanda stabil: berbagai hutang dilunasi, pajak diturunkan, kubu pertahanan, terusan, dan jalan kereta api negara dibangun, semuanya diperoleh dari keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa di Pulau Jawa (Ricklefs, 2011).
Sejak tanam paksa kopi dihapus dan harga jual kopi yang anjlok, kebanyakan petani beralih pada mata pencaharian lainnya. Namun, di beberapa daerah kopi masih diproduksi dalam skala kecil di sekitar dusun dan hutan hingga awal abad 20. Meski pemerintah Indonesia memberikan respon berupa rasionalisasi budidaya kopi atas penyakit karat daun, mayoritas petani enggan kembali menanam kopi lantaran sudah memiliki mata pencaharian yang sulit ditinggalkan. (Fernado; 2003).
Info kopi Jawa Barat jaman now ada di Balarea Sangrai Kopi Priangan.
Referensi
Breman, Jan. Preanger Stelsel: Tanam Paksa Kopi di Pasundan. Arsip Ranesi-RNW. 15 Oktober 2010
Clarence-Smith, W. G adn Steven Topik. The Global Coffee Economy in Africa, Asia, and Latin America 1500-1989. United Kingdom: Cambridge. 2003
Muhsin, Mumuh Z. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Tatar Sunda: dari Masa Tarumanegara s.d. Masa Kolonial Belanda. Makalah disampaikan dalam Kursus Sejarah Sunda denga kerjasama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran dengan Majalah Mangle 19-24 Maret 2007
Niel, Robert Van. Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003.
Pujianto. Arah Menuju Produksi Kopi Berkelanjutan; Heading Toward Sustainable Coffee Production. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2007
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2011.
Robet, Hamzah. Presentasi di @america, From Sunda to San Francisco: The Journey of Indonesian Coffee. 2013
Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indnesia, Jakarta: Grasindo Kompas. 2006.
Zuhdi, Susanto. Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan Di Jawa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2002.
Itulah artikel terlengkap makalah membahas riwayat sejarah lahir kopi di tatar sunda priangan jawa barat yang terkenal hingga eropa dengan nama Coffee of Java Preanger. Semoga bermanfaat untuk anda.